Ariyanti Ammara KPK
Membuat mata tak
nyenyak tidur. Membuat pikiran tak tenang jika selalu teringat. Skripsi. Huff…Semua mahasiswa tingkat atas pasti juga merasakan rasa ini. Setelah
menyelesaikan seluruh mata kuliah, tiba saatnya ke tahap akhir. Skripsi. Kenapa
si harus ada skripsi? Kenapa juga musti lulus skripsi dan bisa
mempertangungjawabkannnya, baru bisa dikatakan sarjana?? Kenapa tidak disuruh
buat cerpen aja tu mahasiswa???
Kalau saja kuliah
itu bukan amanah orang tua, mungkin, (MUNGKIN), aku tak mau merampungkan
skripsiku.Malessssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssss banget.
Beraaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaat banget mau mulainya. Bingung. Mau
mulai dari mana???????? Hffffffff…. Susah bener ya mau dapat gelar S.Pd aja.
Kalau saja bukan
karena Bapak dan Mamak yang udah banting tulang, jemur kulit n merebus
perasaan, mungkin sudah aku kemas semua buku-buku kuliahku. Ku masukkan ke
dalam kotak dan ku lem pakai lakban, baru simpan di gudang. Lalu sambil
melambaikan tangan, aku akan berkata, “selamat tinggal sahabat.” Kemudian aku
akan asyik dengan dunia baruku.
Aku yakin, aku akan
tetap dapat makan tanpa S.Pd. Aku akan tetap dapat pekerjaan. Dan yang pasti,
aku juga akan bertemu dengan jodohku, dengan atau tanpa S.Pd. Gelar bukan segala-galanya
bagiku. Yang penting aku terus belajar dan berusaha, pasti akan ada jalan
menuju kebahagiaan. Bukankah kebahagiaan itu tidak diukur dari banyaknya gelar
akademis yang kita dapat????
Banyak kok, orang
yang bergelar sarjana tidak bahagia karena di usiaya yang kepala tiga, ia masih
belum juga menemukan pendamping hidupnya. Yang bergelar master tidak bahagia
karena telah puluhan tahun menikah belum juga ada tangis bayi di rumahnya. Dan
ada juga doctor maupun professor yang sudah mencapai tingkat pendidikan
akademis tertinggi, tidak bahagia. Ia terlalu sibuk dengan karirnya sehingga
tidak punya waktu bagi keluarga. Tu kan. Gak semua “orang pintar” bahagia.
Ada juga ni, orang
yang sederhana, tanpa gelar apa pun, ia bisa bahagia luar biasa. Di usianya
yang cukup, ia menemukan pendamping hidupnya, kemudian ia mendapat pekerjaan
sesuai dengan keinginannya, tak lama setelah pernikahan, ia dikarunia seorang
bayi mungil yang lucu sangat. Rumahnya sederhana, namun suami/istrinya setia.
Penghasilannya tak seberapa, tapi masih bisa menafkahi orang tua dan sedekah ke
tetangga sekitar, bahkan bisa membuka lapangan pekerjaan untuk anak-anak putus
sekolah, sehingga anak-anak putus sekolah tersebut bisa kembali sekolah dan
menjadi anak asuhnya. Sholatnya selalu berjamaah, dzikir pagi dan petangnya
juga tak pernah lewat. Tilawah dan hafalannya selalu nambah. Anak-anak tumbuh
dengan sehat dan cerdas-cerdas. Sekolah di sekolah islam yang bagus. Pokoknya
sip lah. Tu kan? Bisa bahagia juga kan?
Kalau tanpa gelar sarjana saja kita bisa
bahagia, trus ngapain sih, musti berpusing-pusing ria ngerjain skripsi.
Sampai-sampai badan yang dulunya 49 kg, sekarang tinggal 42 kg? sampai-sampai
begadang semalam suntuk? Pusiiiiing….
Hfffffffffffffffffff
Tapi kalau aku
ingat orang tuaku, bapak dan mamakku, aku jadi mikir, apa iya aku tega bilang
sama mereka kalau aku tidak bisa menyelesaikan studiku? Apa iya aku bisa terus
mencari alasan kenapa aku belum juga diwisuda, sementara teman2 sekampungku
yang juga kuliah di fakultas yang sama sudah memajang foto wisudanya dan
sekarang sudah menjadi guru honorer? Apa iya aku masih bisa berdalih, lagi
sibuk ngurus A, lagi sibuk ngajar, lagi sibuk yang lain???? Atau, apa aku masih
bisa menjawab, “Insya Allah Juli kalau gak September mak.” Sementara 6 bulan
lalu, aku bilang, “Insya Allah Maret.” Apa iya aku masih tega bilang ke mereka,
“gak jadi Juli atau Septembar mak, Insya Allah November.”
Hffffffffffffffffffffffffffffffffffffffffffffffffff….. gak tega…………
“Kok lama, si
ndok? Temenmu udah pada selesai kok kamu belum?’’ “Iya, mak…”
Huhuhu…. Ma’af ya
mak…..
Aku tahu, mamak
ingin segera melihat anaknya jadi sarjana. Fotonya dipajang di dinding rumah
yang kusam. Gak papa lah, dindingnya kusam, yang penting ada foto anaknya di
wisuda. Lalu mereka akan berbangga dan terus menyunggingkan senyuman ketika
bertemu dengan karib kerabatnya. Dengan penuh syukur dan bangga ia akan
berkata, “Iya, Alhamdulillah udah wisuda.”
Huhuhu… senyumnya
itu lo. Apa iya aku sanggup terus-terusan menunda senyum itu?
Setelah puluhan
tahun ia membersarkan kita, dan di lima tahun terakhir ia harus bekerja luar
biasa ekstra untuk kuliah kita, dan itu tidak akan pernah kita bayar. Toh,
mereka juga tidak meminta bayar atau ganti rugi. Hanya senyum itu yang mereka
harapkan. Hanya kata sarjana itu yang mereka idamkan. Bagi mereka, orang tua
yang berhasil adalah orang tua yang bisa menyekolahkan anaknya sampai tinggi,
meskipun untuk makan sehari-hari saja mereka susah.
Kalau aku gak
butuh kata sarjana, aku akan hadiahkan ia untuk sepasang malaikat dalam hidupku
yang tercinta. Kalau aku tak butuh toga, anggaplah aku memakainya demi melihat
senyum kesyukuran terkembang di pipi keriputnya.
Mamak, bapak.
Ma’af ya.. selalu menunda senyum itu…. Jangan marahi aku. Jangan kesal padaku.
Ku mohon, tetap sayangi dan ridhio aku. Kini anakmu ini sedang tertatih
melangkah, mak, pak. Aku janji, aku tidak lagi menunda senyum itu. Secepatnya
ia akan tersungging di wajah malaikatmu. Doakan aku mak, pak. I love You……..
SEMANGAT
SKRIPSI…………….!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!
Kamar “Awan”, 7
Mei 2012. 15.00
Saat kepala sedang
berdenyut-denyut, dikelilingi buku-buku dan map-map orange.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jika tulisan ini bermanfaat tolong dikomentari yach.....