Rafa Al Qinansa KPK
“Ran,
ada bunga untuk kamu.” seru Tita dengan senyum.
“Dari
siapa, Ta?”
“Aku
tidak tahu. Coba kamu baca aja tulisannya.”
Ranya
membuka lipatan kertas di dalam bunga itu. Di halaman depan tertulis kata
“LOVE” lengkap dengan gambar hati memenuhi sampul depan itu. Isinya :
“Untuk Ranya,
Mungkin ini terkesan
bodoh, tapi sungguh aku mengagumimu. Bunga ini spesial untukmu.”
Ranya
mengernyitkan dahinya begitu selesai membaca tulisan itu. Tita yang penasaran
dengan pengirim bunga itu mencari kertas lain yang mungkin terselip di bunga
itu. Namun, nihil.
“Ciee...
punya pengagum rahasia ya, Ran?”
“Jangan
gitu dong, Ta! Aku juga bingung siapa yang mengirim bunga ini untukku.”
“Hmm...
mungkin orang itu sering memperhatikanmu. Karena tidak kesampaian, dia Cuma
bisa kirim bunga. Tapi siapa ya?”
Penasaran
mereka belum terjawab dan tak ada prediksi yang pasti tentang orang yang
mungkin mengirim bunga itu.
###
Ranya
baru saja pulang kuliah. Seperti biasa, ia menumpang bus kota. Saat ia masuk bus
kota, ia merasa ada yang sedang memperhatikannya. Namun, Ranya berusaha
menenangkan diri dan tidak panik.
Sesampainya
dirumah, perasaannya kembali tenang. Namun, ia merasakan ada sesuatu yang
membuat tasnya semakain berat. Ia obok-obok tasnya dengan penasaran. Ternyata
yang ia temukan adalah sekotak coklat yang tersusun dengan cantik. Kali ini, ia
tak menemukan surat apapun.
Karena
Ranya adalah tipe gadis yang cuek, ia tidak memikirkan siapa yang memberinya
bunga dan cokelat. Malah, cokelat itu diberikan untuk adik-adiknya.
Adik-adiknya yang bawel mulai menanyai kakaknya.
“Tumben
kakak beli cokelat kayak gini?” tanya Eri, adik pertama Ranya.
“Pasti
dari pacarnya, ya? Kok nggak kenalin ke kita sih, Kak?” sambung Aka, adik kedua
Ranya.
“Hush!
Ini bukan dari siapa-siapa. Makan aja cokelatnya dengan tenang.” Jawab Ranya
sekenanya.
“Ciee...
kakak marah. Jangan-jangan benar ya, dari pacarnya?” tanya Aka.
Ranya
hanya terdiam dan memelototi Aka. Namun, Eri tak peduli, eri tetap melanjutkan
melahap cokelat itu. Hingga cokelat terakhir, Ranya enggan memakannya. Walaupun
cokelat adalah kudapan favoritnya.
###
Empat
bulan kemudian...
“Kali ini kamu sudah
semakin berbeda. Rambutmu tidak bisa lagi kulihat. Matamu sudah terbingkai
kacamata. Pakaianmu semakin panjang saja menutupi lengan dan kakimu. Kamu
semkain indah dimataku.
Ranya, maaf selama ini
aku terkesan menerormu. Namun, sungguh aku tak berniat begitu. Kalau kamu
bertanya mengapa aku mengagumimu? Jawabannya, aku tak tahu. Mungkin karena
parasmu, sifatmu, perilakumu, atau entahlah. Yang aku tahu, aku mengagumimu.
Kamu pasti bingung,
siapa aku?
Aku tunggu di Taman
Bunga besok, pukul 4 sore.
Bawa saja Tita untuk
menemanimu.”
Ranya
mencari identitas di sekitar surat itu dan ditemukan sebuah inisial “N”. Ranya
telusuri teman laki-laki dikelasnya yang berinisial “N”, namun tak ditemukannya.
Sejak itu, Ranya sering terlihat waspada saat ada orang-orang di sekelilingnya.
###
“Tita,
tolong temani aku ketemuan, ya? Plis!” mohon Ranya.
“Kenapa
harus aku, Ran?”
“Karena
dia bilang, kalo takut ketemu, bawa kamu aja!”
“Trus,
kalo dia nyuruh kamu bawa adik-adikmu, kamu mau bawa juga?”
“Aduh,
serius nih! Tolong aku, Ta...” wajah Ranya semakin memelas.
“Ya
udah, gini aja. Kita pergi ke sana diam-diam.”
“Oke,
bos! Kamu memang Tita yang gendut!”
Tita
mencubit lengan Ranya. Lalu mereka tertawa bersama.
###
Keesokan
harinya...
Taman
bunga ramai sekali. Ranya dan Tita tetap waspada melirik sekelilingnya.
Takut-takut orang itu sudah melihat mereka mengendap-endap sedari tadi. Tak
lama kemudian, ada SMS di HP Ranya.
“Aku tahu kamu datang
bersama Tita. Aku mengenakan jaket hitam, celana selutut dan bertopi hitam. Aku
duduk dibawah pohon akasia.”
Mereka
berdua langsung menuju tempat yang dimaksud. Benar saja, disana ada seorang
pria yang duduk di kursi dengan ciri-ciri yang persis disebutkan dalam SMS itu.
Dengan penuh hati-hati, mereka berdua melangkah kesana. Baru memulai tiga
langkah, pria itu memandangi mereka.
Ranya
dan Tita spontan berbalik arah. Namun, pria itu memanggil Ranya. Ia tidak siap
melihat rupa pengagum rahasianya itu.
“Ranya,
coba lihat aku sebentar saja.”
Ranya
menguatkan diri untuk berbalik arah. Dan ternyata...
“Niko?
Jadi selama ini kamu yang ...”
“Iya,
maaf membuatmu takut. Apa kabar?” tanya Niko ramah.
“Aku
baik-baik saja. Oh iya, kenalkan ini Tita. Teman akrabku.”
Tita
mengangguk dengan menyunggingkan senyum.
“Tentu
saja aku sudah tahu. Aku melihat hampir semua yang kamu lakukan di luar rumah.”
“Untuk
apa? Aku benar-benar tidak menyangka, sahabat kecilku menjadi pengagum
rahasiaku seperti ini.”
Tita
mulai merasa menjadi obat nyamuk.
“Ehm...
kayak sinetron nih? Aku dikacangin. Hiks.”
“Oh
iya, udah dulu ya, Nik. Habis ini Tita mau minta temenin ke toko buku.”
“Tapi,
Ran...”
“Sori
ya, Nik. Kami buru-buru. Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.”
###
Setahun
kemudian...
Lama
sekali tak terdengar kabar Niko sejak pertemuan itu. Ranya beranjak dari taman
yang dinaungi pohon akasia. Ia baru saja menulis sedikit memo di catatannya.
Melukiskan perasaannya setahun lalu. Teringat saat itu. Ia tak mengerti,
mengapa sulit sekali melupakan pertemuan singkat yang berlangsung beberapa
menit itu. Tersirat dalam pikiran Ranya, tentang seperti apa Niko sekarang?
Ia
berjalan meninggalkan taman itu. Kali itu, ia hanya sendiri. Melihat orang
bercengkrama di taman membuat suasana hatinya menjadi lebih baik. Terlebih lagi
telah ia tuangkan kepenatannya dalam memo kesayangannya. Bunga-bunga mulai
menebarkan wanginya. Mendamaikan hati insan yang menghirup bau segarnya.
Ranya
terus berjalan. Hingga ia lihat ada keributan tak jauh dari taman. Entah enapa,
ia sangat ingin mengetahui apa yang terjadi disana. Dengan perlahan ia
mendekat, dan melihat Niko sudah terbaring dengan luka tusuk di perutnya. Ranya
yang panik segera memanggil ambulans.
Tangannya
bergetar. Hatinya muram tak karuan. Ia tak ingin Niko diambil dengan begitu
saja. Sahabat kecil yang selama ini mengaguminya harus terbaring melawan sakit
yang menohok perutnya. Air hangat mengalir menetes di pipinya. Om Niko tiba di
Rumah Sakit dengan segera. Lalu, ia melihat Ranya yang duduk tertunduk. Om Niko
tak asing lagi dengan wajah Ranya. Ia menghampiri Ranya.
“Kamu
Ranya, kan?”
“Iya,
Pak. Bapak siapa ya? Kok bisa tahu nama saya?”
“Saya
Om-nya Niko. Tentu saja, Niko menempel fotomu di dinding kamarnya. Ia juga
bercerita kepada Om kalau dia sangat mengagumimu.”
Om
Niko lalu menceritakan kehidupan Niko, tentang Niko yang mengagumi Ranya, dan
sekilas tentang pertemuan mereka setahun yang lalu. Ranya terhenyak mendengar
penuturan Om Niko. Ternyata, Niko ingin Ranya menjadi pendamping hidupnya. Air
mata Ranya kembali bergulir. Bingung menerima kenyataan itu.
Tak
lama kemudian, dokter memanggil Om Niko. Namun, dokter mengatakan bahwa Niko
terus menyebut nama Ranya dalam igauannya. Ranya diperbolehkan masuk ke ruang
rawat Niko. Dengan langkah yang berat, Ranya memberanikan diri untuk masuk.
Niko sudah siuman. Ranya berdiri jauh sekali dari Niko.
“Ranya,
jangan takut. Aku tidak apa-apa. Sebenarnya, aku seperti ini ada hubungannya
denganmu.” kata Niko lirih.
“Kenapa
segala hal selalu berhubungan dengan aku, Nik? Sudah cukup kamu mengagumiku.
Ini sudah berlebihan!” seru Ranya dengan amarah.
“Tentu
saja, Ran. Saat kejadian itu, kamu sendirian di kursi taman bawah pohon akasia,
‘kan? Ada seorang lelaki yang mengintaimu karena kamu sedang sendirian.”
“Kamu
bohong, Nik!”
“Apakah
luka tusuk ini berbohong? Pria itu berlari ke arahmu dengan menggenggam pisau
di tangannya. Namun, dari jauh aku sudah mengantisipasinya. Aku tidak ingin
kamu terluka. Biarkan aku saja yang terluka, jika itu membuat kamu baik-baik
saja.”
“Tapi...
kamu tidak seharusnya melakukan hal senekat itu, Nik...”
“Aku
hanya berusaha melindungimu. Itu saja. Lagipula, ada sesuatu yang ingin aku
sampaikan saat di taman kemarin.”
Lama
Niko terdiam, Ranya sibuk dengan pikirannya yang kacau namun masih
mendengarkan, dan Om Niko emngangguk mantap agar Niko mengutarakan isi hatinya.
“Aku
sudah menyiapkan cincin untuk melamarmu, untuk menjadi teman hidupku. Maukah
kamu menerima lamaranku?” tanya Niko penuh harap.
“Beri
aku waktu.” jawab Ranya.
“Aku
tidak tahu bisa bertahan berapa lama lagi bersama luka ini. Tolong jawab jujur,
maukah kamu menerimaku?”
Ranya
terdiam. Bingung dengan keputusan yang harus dibuatnya dalam waktu singkat.
Dengan sekuat tenaga ia membuat suatu keputusan yang bisa merubah hidupnya.
Niko dengan wajah penuh harapan menunggu kepastian Ranya. Om Niko menjadi saksi
diantara mereka berdua.
“Kamu
adalah pria yang baik, Nik. Tapi... sayangnya...”
Kalimat
Ranya terputus. Niko hampir putus asa mendengar pernyataan Ranya. Kali ini,
Niko serasa nyawanya sudah di tenggorokan.
“...aku
tidak bisa...”
“Kenapa
Ran?” rona sedih tampak dari wajah Niko.
“Aku
tidak bisa menolakmu. Om kamu sudah bercerita banyak tentangmu. Kamu ingin
menikahiku karena ingin menyempurnakan setengah dari agamamu. Dan dari itu
semua, timbul keyakinan dalam hatiku untuk menjadi teman hidupmu. Aku menerima
lamaranmu.” jawab Ranya dengan mantap bersungging senyuman.
Niko
seketika sangat bahagia mendengar pernyataan Ranya. Namun, ia hanya bisa
berucap Alhamdulillah walaupun hatinya senang sekali. Luka yang dirasakan Niko
dianggapnya sebagai hikmah. Om Niko turut bahagia menyaksikan pejuangan Niko
untuk mendapatkan hati Ranya. Perjuangan yang mempertaruhkan nyawa dan harga
diri. Bahwa, cinta itu butuh pengorbanan yang tulus. Jika ketulusan telah
menembus dinding hati, maka buah ketulusan itu akan ranum dan sangat nikmat
bila dipetik.
Sabtu,
19 Mei 2012 @22:47
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jika tulisan ini bermanfaat tolong dikomentari yach.....