-->

SMS Gratis

Jumat, 25 Mei 2012

Mengukir Tetesan Embun Cinta

Rafa Al Qinansa KPK
 

“Ran, ada bunga untuk kamu.” seru Tita dengan senyum.
“Dari siapa, Ta?”

“Aku tidak tahu. Coba kamu baca aja tulisannya.”

Ranya membuka lipatan kertas di dalam bunga itu. Di halaman depan tertulis kata “LOVE” lengkap dengan gambar hati memenuhi sampul depan itu. Isinya :




“Untuk Ranya,
Mungkin ini terkesan bodoh, tapi sungguh aku mengagumimu. Bunga ini spesial untukmu.” 

Ranya mengernyitkan dahinya begitu selesai membaca tulisan itu. Tita yang penasaran dengan pengirim bunga itu mencari kertas lain yang mungkin terselip di bunga itu. Namun, nihil.
“Ciee... punya pengagum rahasia ya, Ran?”
“Jangan gitu dong, Ta! Aku juga bingung siapa yang mengirim bunga ini untukku.”
“Hmm... mungkin orang itu sering memperhatikanmu. Karena tidak kesampaian, dia Cuma bisa kirim bunga. Tapi siapa ya?”
Penasaran mereka belum terjawab dan tak ada prediksi yang pasti tentang orang yang mungkin mengirim bunga itu.

###

Ranya baru saja pulang kuliah. Seperti biasa, ia menumpang bus kota. Saat ia masuk bus kota, ia merasa ada yang sedang memperhatikannya. Namun, Ranya berusaha menenangkan diri dan tidak panik.

Sesampainya dirumah, perasaannya kembali tenang. Namun, ia merasakan ada sesuatu yang membuat tasnya semakain berat. Ia obok-obok tasnya dengan penasaran. Ternyata yang ia temukan adalah sekotak coklat yang tersusun dengan cantik. Kali ini, ia tak menemukan surat apapun.

Karena Ranya adalah tipe gadis yang cuek, ia tidak memikirkan siapa yang memberinya bunga dan cokelat. Malah, cokelat itu diberikan untuk adik-adiknya. Adik-adiknya yang bawel mulai menanyai kakaknya.

“Tumben kakak beli cokelat kayak gini?” tanya Eri, adik pertama Ranya.
“Pasti dari pacarnya, ya? Kok nggak kenalin ke kita sih, Kak?” sambung Aka, adik kedua Ranya.

“Hush! Ini bukan dari siapa-siapa. Makan aja cokelatnya dengan tenang.” Jawab Ranya sekenanya.

“Ciee... kakak marah. Jangan-jangan benar ya, dari pacarnya?” tanya Aka.
Ranya hanya terdiam dan memelototi Aka. Namun, Eri tak peduli, eri tetap melanjutkan melahap cokelat itu. Hingga cokelat terakhir, Ranya enggan memakannya. Walaupun cokelat adalah kudapan favoritnya.

### 

Empat bulan kemudian...

“Kali ini kamu sudah semakin berbeda. Rambutmu tidak bisa lagi kulihat. Matamu sudah terbingkai kacamata. Pakaianmu semakin panjang saja menutupi lengan dan kakimu. Kamu semkain indah dimataku.
Ranya, maaf selama ini aku terkesan menerormu. Namun, sungguh aku tak berniat begitu. Kalau kamu bertanya mengapa aku mengagumimu? Jawabannya, aku tak tahu. Mungkin karena parasmu, sifatmu, perilakumu, atau entahlah. Yang aku tahu, aku mengagumimu.
Kamu pasti bingung, siapa aku?
Aku tunggu di Taman Bunga besok, pukul 4 sore.
Bawa saja Tita untuk menemanimu.”

Ranya mencari identitas di sekitar surat itu dan ditemukan sebuah inisial “N”. Ranya telusuri teman laki-laki dikelasnya yang berinisial “N”, namun tak ditemukannya. Sejak itu, Ranya sering terlihat waspada saat ada orang-orang di sekelilingnya.

### 

“Tita, tolong temani aku ketemuan, ya? Plis!” mohon Ranya.
“Kenapa harus aku, Ran?”
“Karena dia bilang, kalo takut ketemu, bawa kamu aja!”
“Trus, kalo dia nyuruh kamu bawa adik-adikmu, kamu mau bawa juga?”
“Aduh, serius nih! Tolong aku, Ta...” wajah Ranya semakin memelas.
“Ya udah, gini aja. Kita pergi ke sana diam-diam.”
“Oke, bos! Kamu memang Tita yang gendut!”
Tita mencubit lengan Ranya. Lalu mereka tertawa bersama.

###

Keesokan harinya...
Taman bunga ramai sekali. Ranya dan Tita tetap waspada melirik sekelilingnya. Takut-takut orang itu sudah melihat mereka mengendap-endap sedari tadi. Tak lama kemudian, ada SMS di HP Ranya.

“Aku tahu kamu datang bersama Tita. Aku mengenakan jaket hitam, celana selutut dan bertopi hitam. Aku duduk dibawah pohon akasia.”

Mereka berdua langsung menuju tempat yang dimaksud. Benar saja, disana ada seorang pria yang duduk di kursi dengan ciri-ciri yang persis disebutkan dalam SMS itu. Dengan penuh hati-hati, mereka berdua melangkah kesana. Baru memulai tiga langkah, pria itu memandangi mereka.

Ranya dan Tita spontan berbalik arah. Namun, pria itu memanggil Ranya. Ia tidak siap melihat rupa pengagum rahasianya itu.

“Ranya, coba lihat aku sebentar saja.”
Ranya menguatkan diri untuk berbalik arah. Dan ternyata...
“Niko? Jadi selama ini kamu yang ...”
“Iya, maaf membuatmu takut. Apa kabar?” tanya Niko ramah.
“Aku baik-baik saja. Oh iya, kenalkan ini Tita. Teman akrabku.”
Tita mengangguk dengan menyunggingkan senyum.

“Tentu saja aku sudah tahu. Aku melihat hampir semua yang kamu lakukan di luar rumah.”

“Untuk apa? Aku benar-benar tidak menyangka, sahabat kecilku menjadi pengagum rahasiaku seperti ini.”

Tita mulai merasa menjadi obat nyamuk.
“Ehm... kayak sinetron nih? Aku dikacangin. Hiks.”
“Oh iya, udah dulu ya, Nik. Habis ini Tita mau minta temenin ke toko buku.”
“Tapi, Ran...”
“Sori ya, Nik. Kami buru-buru. Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.”

###
Setahun kemudian...
Lama sekali tak terdengar kabar Niko sejak pertemuan itu. Ranya beranjak dari taman yang dinaungi pohon akasia. Ia baru saja menulis sedikit memo di catatannya. Melukiskan perasaannya setahun lalu. Teringat saat itu. Ia tak mengerti, mengapa sulit sekali melupakan pertemuan singkat yang berlangsung beberapa menit itu. Tersirat dalam pikiran Ranya, tentang seperti apa Niko sekarang?

Ia berjalan meninggalkan taman itu. Kali itu, ia hanya sendiri. Melihat orang bercengkrama di taman membuat suasana hatinya menjadi lebih baik. Terlebih lagi telah ia tuangkan kepenatannya dalam memo kesayangannya. Bunga-bunga mulai menebarkan wanginya. Mendamaikan hati insan yang menghirup bau segarnya.

Ranya terus berjalan. Hingga ia lihat ada keributan tak jauh dari taman. Entah enapa, ia sangat ingin mengetahui apa yang terjadi disana. Dengan perlahan ia mendekat, dan melihat Niko sudah terbaring dengan luka tusuk di perutnya. Ranya yang panik segera memanggil ambulans.

Tangannya bergetar. Hatinya muram tak karuan. Ia tak ingin Niko diambil dengan begitu saja. Sahabat kecil yang selama ini mengaguminya harus terbaring melawan sakit yang menohok perutnya. Air hangat mengalir menetes di pipinya. Om Niko tiba di Rumah Sakit dengan segera. Lalu, ia melihat Ranya yang duduk tertunduk. Om Niko tak asing lagi dengan wajah Ranya. Ia menghampiri Ranya.

“Kamu Ranya, kan?”
“Iya, Pak. Bapak siapa ya? Kok bisa tahu nama saya?”
“Saya Om-nya Niko. Tentu saja, Niko menempel fotomu di dinding kamarnya. Ia juga bercerita kepada Om kalau dia sangat mengagumimu.”

Om Niko lalu menceritakan kehidupan Niko, tentang Niko yang mengagumi Ranya, dan sekilas tentang pertemuan mereka setahun yang lalu. Ranya terhenyak mendengar penuturan Om Niko. Ternyata, Niko ingin Ranya menjadi pendamping hidupnya. Air mata Ranya kembali bergulir. Bingung menerima kenyataan itu.

Tak lama kemudian, dokter memanggil Om Niko. Namun, dokter mengatakan bahwa Niko terus menyebut nama Ranya dalam igauannya. Ranya diperbolehkan masuk ke ruang rawat Niko. Dengan langkah yang berat, Ranya memberanikan diri untuk masuk. Niko sudah siuman. Ranya berdiri jauh sekali dari Niko.

“Ranya, jangan takut. Aku tidak apa-apa. Sebenarnya, aku seperti ini ada hubungannya denganmu.” kata Niko lirih.

“Kenapa segala hal selalu berhubungan dengan aku, Nik? Sudah cukup kamu mengagumiku. Ini sudah berlebihan!” seru Ranya dengan amarah.

“Tentu saja, Ran. Saat kejadian itu, kamu sendirian di kursi taman bawah pohon akasia, ‘kan? Ada seorang lelaki yang mengintaimu karena kamu sedang sendirian.”

“Kamu bohong, Nik!”
“Apakah luka tusuk ini berbohong? Pria itu berlari ke arahmu dengan menggenggam pisau di tangannya. Namun, dari jauh aku sudah mengantisipasinya. Aku tidak ingin kamu terluka. Biarkan aku saja yang terluka, jika itu membuat kamu baik-baik saja.”

“Tapi... kamu tidak seharusnya melakukan hal senekat itu, Nik...”
“Aku hanya berusaha melindungimu. Itu saja. Lagipula, ada sesuatu yang ingin aku sampaikan saat di taman kemarin.”

Lama Niko terdiam, Ranya sibuk dengan pikirannya yang kacau namun masih mendengarkan, dan Om Niko emngangguk mantap agar Niko mengutarakan isi hatinya.

“Aku sudah menyiapkan cincin untuk melamarmu, untuk menjadi teman hidupku. Maukah kamu menerima lamaranku?” tanya Niko penuh harap.
“Beri aku waktu.” jawab Ranya.

“Aku tidak tahu bisa bertahan berapa lama lagi bersama luka ini. Tolong jawab jujur, maukah kamu menerimaku?”

Ranya terdiam. Bingung dengan keputusan yang harus dibuatnya dalam waktu singkat. Dengan sekuat tenaga ia membuat suatu keputusan yang bisa merubah hidupnya. Niko dengan wajah penuh harapan menunggu kepastian Ranya. Om Niko menjadi saksi diantara mereka berdua.

“Kamu adalah pria yang baik, Nik. Tapi... sayangnya...”
Kalimat Ranya terputus. Niko hampir putus asa mendengar pernyataan Ranya. Kali ini, Niko serasa nyawanya sudah di tenggorokan.
“...aku tidak bisa...”
“Kenapa Ran?” rona sedih tampak dari wajah Niko.

“Aku tidak bisa menolakmu. Om kamu sudah bercerita banyak tentangmu. Kamu ingin menikahiku karena ingin menyempurnakan setengah dari agamamu. Dan dari itu semua, timbul keyakinan dalam hatiku untuk menjadi teman hidupmu. Aku menerima lamaranmu.” jawab Ranya dengan mantap bersungging senyuman.

Niko seketika sangat bahagia mendengar pernyataan Ranya. Namun, ia hanya bisa berucap Alhamdulillah walaupun hatinya senang sekali. Luka yang dirasakan Niko dianggapnya sebagai hikmah. Om Niko turut bahagia menyaksikan pejuangan Niko untuk mendapatkan hati Ranya. Perjuangan yang mempertaruhkan nyawa dan harga diri. Bahwa, cinta itu butuh pengorbanan yang tulus. Jika ketulusan telah menembus dinding hati, maka buah ketulusan itu akan ranum dan sangat nikmat bila dipetik.

Sabtu, 19 Mei 2012 @22:47

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jika tulisan ini bermanfaat tolong dikomentari yach.....