-->

SMS Gratis

Jumat, 25 Mei 2012

Ketika cinta itu tulus


Kana Effendi

Hujan. Mungkin sebagian orang akan menyikapinya dengan (dalam bahasa halusnya) “mengeluh”. Sebagian lagi memilih untuk bermalas-malasan. Namun, lain halnya dengan seseorang yang kukenal. Gerak-geriknya yang sangat kuhapal, pasti ia akan duduk disamping jendela kamarnya, membiarkan matanya menatap kearah luar jendela, menatap pasukan barisan hujan, seakan nggak mau ketinggalan sebutir pun rintik-rintiknya. Ia selalu menatap hujan dengan penghayatan mendalam, penuh arti. Seolah rintik-rintik hujan itu adalah jejeran huruf yang bertransformasi menjadi kalimat dan mengajaknya bicara. Selalu ia tersenyum, kemudian memejamkan matanya cukup lama.


Seperti sore ini, hujan turun lumayan lebat. Ia duduk disamping jendela, setelah sebelumnya mengangkat jemuran pakaian dibelakang rumah. Maka udah menjadi kebiasaanku, akupun akan mengintip melalui celah pintu yang kubuka sedikit, hanya untuk memenuhi rasa penasaranku ‘’apakah ia akan bercengkrama dengan hujan lagi?”

Dulu saat aku kecil, saat masih belum mengerti dengan kebiasaannya, ketika aku mulai ribut disampingnya, merengek bosan karena bagiku saat itu hujan yang dilihat olehnya sama sekali nggak asyik, ia hanya akan mendekapku dan berucap persis desisan “sssttt!!!”. Setelah itu, ia akan diam lagi tanpa sedikitpun memarahiku yang tega mengganggu ketenangannya. Anehnya, diamnya itu seperti sebuah kebahagiaan terpendam.

Barulah satu tahun lalu, dihari ulang tahunku yang ke-16, ia mengisahkan alasan kebiasannya. Ceritanya begitu panjang, mirip dongeng namun dalam versi dongeng kehidupan nyata.

Kututup pintu kamarnya. Ya… biarlah ia asyik dengan kebiasannya. Aku hanya berharap bahwa hari itu cepatlah datang, agar ia nggak lagi duduk diam, lalu tersenyum dan seperti seseorang yang selalu merindukan hujan. Karena sebenarnya, yang ia tunggu bukanlah itu.

Seseorang yang menyukai hujan ini adalah ibuku, teman. Jadi tolong jangan menganggapnya aneh. Jujur aja, kalaulah aku yang berada pada posisi ibu, mungkin aku nggak akan menjadi lebih tegar dari ibu. Kalau ingin berkomentar, tunggu setelah kalian selesai membaca ceritaku.

*  *  *
Kumulai bagian ini dengan cerita ibu tentang “kenapa ibu begitu kelihatan bahagia saat hujan tiba”. Ini adalah hasil penuturan ibu yang berhasil kurekam dalam memori ingatanku.

Pertemuan dua puluh tahun lalu, itu artinya tiga tahun sebelum aku terlahir ke dunia, ibuku terlibat dalam acara perjodohan yang diprakarsai oleh kakek dan nenekku. Saat itu ibu terbilang masih muda, usianya belum genap 21 tahun. Ibu adalah tipe anak perempuan yang penurut dan sedikit pendiam (informasi ini hasil investigasiku dengan kakek dan nenek). Laki-laki yang dijodohkan adalah bakal calon ayahku. Karena yang namanya dijodohkan nggak serta merta langsung timbul chemistry diantara yang dijodohkan. Yang dilihat ibu dari orang yang dijodohkan dengannya saat itu hanyalah pemuda dingin yang nggak banyak bicara. Bahkan wajah penolakan pemuda itu dengan perjodohan saat itu tergambar jelas diwajahnya.

Ibu hanya menghabiskan tiap detik acara pertemuan pertama itu dengan menundukkan kepala. Pada perjumpaan itu, ibu dan ayah sama sekali nggak saling ngobrol, bahkan untuk menyebutkan nama masing-masing pun nggak. Mereka baru kenal dan bertemu saat itu.

Ibu pikir setelah pertemuan pertama malam itu, nggak akan ada lagi pertemuan selanjutnya. Namun disaat yang nggak terduga dan dalam ketidaksengajaan, ibu melihat ayah yang sedang memberikan sebungkus makanan dan jajanan ringan pada seorang anak kecil jalanan, ayah terlihat asyik bercengkrama dengan anak itu. Entah kenapa ibu yang melihat peristiwa itu, membuat hatinya menyimpan kesan mendalam pada ayah, hatinya tersentuh oleh kebaikan ayah.

Lalu saat ibu tengah tertegun dengan apa yang dilihatnya, tiba-tiba aja hujan yang tanpa permisi mengguyur lebat dan berhasil membuat ibu gelagapan mencari tempat berteduh. Belum sempat menyingkirkan rasa terkejutnya pada hujan yang datang tiba-tiba, seseorang berdiri disamping ibu dengan membawakan payung. Seseorang itu adalah ayah. Tanpa berbasa-basi ayah menyodorkan payung itu pada ibu. Saat payung itu sudah melindungi ibu dari serbuan hujan, kemudian tanpa mengucapkan satu patah katapun ayah langsung begitu aja pergi, meninggalkan ibu yang terus memperhatikan langkah kaki ayah yang berlari sampai nggak terlihat. Semenjak saat itu, terbersit keinginan dalam hati ibu bahwa perjodohan itu bisa berlanjut pada jenjang yang serius.

Untuk bagian ini, aku pun nggak ngerti kenapa ibu cepat jatuh hati pada ayah? Karena menurutku kebaikan yang dilihat hari itu belum bisa mewakilkan kebaikan-kebaikan lainnya. Kata ibu “terkadang kita nggak bisa menghalau datangnya cinta, bahkan ketika hati kita ingin menolak kehadirannya, malahan rasa cinta itu semakin tumbuh. Karena kita nggak pernah tahu kapan cinta itu akan datang.”

Dan dimulai dari hari itu, benih cinta mulai tumbuh dihati ibu. Namun ibu mempersiapkan diri untuk rasa cintanya itu. Ibu nggak mau menjadi egois karena cintanya pada ayah. Menjadi lupa pada cinta yang semestinya. Maka ibu mulai untuk menerima bahwa jodoh sudah ada yang mengaturnya.

Singkat cerita, pernikahan ayah dan ibu pun terjadi. Orang yang ibu cintai kini telah menjadi halal. Namun, bagian tersulit yang mesti dijalani ibu pun telah dimulai.

Ayah memang menikahi ibu, tapi bukan dengan cintanya. Bahkan terang-terangan bilang pada ibu bahwa ayah sebenarnya mencintai perempuan lain. Dan itu ayah lakukan dihari pertama mereka resmi menjadi pasangan suami-istri. Apa yang dirasakan oleh ibu saat itu? saat mendengarnya aja hatiku merasa sakit, kupingku panas, alih-alih timbul rasa benci pada ayah. Namun saat ibu menceritakan ini, ibu malahan tersenyum, akupun jadi bingung dibuatnya.

Memasuki tahun ke-2 pernikahan, saat ibu dan ayah sedang bersantap makanan, dan malam itu ibu spesial memasak makanan kesukaan ayah; asam pedas, sambal belacan dengan berlaukkan tahu goreng, tiba-tiba dikejutkan oleh suara gedoran pintu dari arah ruang tamu. Sikap ayah malam itu sedikit berbeda dengan ibu. Sedikit lebih hangat. Menurut ibu kejadian di malam itu berlalu begitu cepat, yang ibu sadari kemudian bahwa ayah telah digiring oleh beberapa orang menuju kantor polisi. Saat kejadian itu, untuk pertama kalinya ayah menyunggingkan senyumnya pada ibu seolah ingin menenangkan ibu yang saat itu benar-benar bingung, terkejut.

Kemudian sampailah di telinga ibu perihal penyebab kenapa ayah harus masuk sel tahanan. Dan untuk yang satu ini, ibu nggak menceritakannya padaku. Ibu nggak mau membuatku membenci ayah kandungnya. Ya… kadang-kadang rasa benci pada ayah begitu aja muncul. Karena ayah, ibu kesepian dan harus berjuang sendirian membesarkanku, bahkan nggak pelak kesedihan-kesedihan itu ibu pendam sendirian. Karena ayah, aku seperti anak laki-laki yang terlahir tanpa ayah.

Tapi ibu terus meyakinkanku, meredam kebencianku bahwa ayah berhak untuk dimaafkan. Setiap orang pernah melakukan kesalahan dan kita harus memberikan kesempatan pada orang itu untuk berubah dan memberikannya maaf terlepas dari seberapa besar kesalahan yang dilakukannya. Allah saja Maha Pengampun, kenapa kita sebagai hambanya nggak bisa berbesar hati menerima kesalahan orang lain? Itu yang dikatakan ibu setiap aku mulai menampakkan ketidaksenanganku pada ayah.

Ibu sama sekali nggak memperlihatkan kebencian atau kekecewaannya pada ayah. Yang terlihat diwajah ibu adalah wajah ketulusan mencintai dan aku seperti udah terhipnotis oleh ketulusan hati ibu.

Ayah dan ibu hampir bercerai, kalau saja ibu nggak menolaknya dengan tegas. Ibu ingin mempertahankan pernikahannya. Ibu akan menunggu ayah, walau itu berarti ibu harus menjalani 17 tahun hidup tanpa ayah disampingnya. Mendengar jawaban ibu yang seperti itu, ayah menitikkan air mata untuk pertama kalinya dihadapan ibu.

Saat mendengar ibu tengah mengandung, ayah meminta ibu untuk berjanji nggak akan pernah membawa anaknya pergi mengunjungi rumah kecil bertitelkan sel tahanan ini. Ayah nggak ingin melihat anaknya saat berstatus tahanan. Ayah merasa malu dan bingung harus menjelaskan apa pada anaknya nanti. Awalnya ibu menolak, namun pada akhirnya untuk permintaan ayah yang satu ini, ibu nggak bisa untuk nggak mengalah. Ya… kemudian aku pun nggak pernah melihat ayah secara langsung sampai detik ini. Mengenal ayah lewat cerita-cerita ibu tanpa sedikitpun menyinggung penyebab ayah dipenjara dan melihat wajah ayah lewat poto-poto pernikahan mereka.

*  *  *
Ibu kelihatan tenang. kalau boleh menerka, dibalik wajah tenang itu sebenarnya ibu sedang dipenuhi rasa dag dig dug. Gimana nggak?!! Hari ini adalah salah satu hari yang paling  dinantikan ibu. 17 tahun sudah ibu melewati hari dengan sabar untuk sampai pada hari ini.

Ibu melangkahkan kaki, lamban namun pasti dengan sesekali mengusapkan tangan kanannya ke dada. Menenangkan perasaannya, sepertinya. Ibu sama sekali nggak tergoda untuk mengajakku bicara. Akupun menjadi asyik melihat lakon ibu yang agak sedikit nerves.

Sesampainya di pintu gerbang, kami sama-sama menghentikan langkah kaki. Menunggu ayah dari luar pintu gerbang yang menjulang tinggi. Sampai pada menit ke-20 tanda-tanda kemunculan ayah mulai terlihat. Seperti inilah gambaran persisnya. Mula-mula kaki kanan berpantofel hitam keluar dari arah pintu gerbang. Disusul dengan kaki kirinya. Berdiri tegap disana, lima meter dari arah kami, laki-laki berkemeja putih bergaris vertikal dengan celana panjang berwarna hitam, dengan tas selempang mengalungi badannya. Jreenngg… diakah ayah?

Ia menghampiri kami. Mengucapkan salam dan kami membalasnya. Menatap ibu dan aku bergiliran. Langsung memelukku meski agak canggung. Erat. Sangat erat. Beginikah rasanya dipeluk oleh seorang ayah? 

“Maaf… maafkan ayah, nak.” Ujarnya kemudian.
Jujur, aku juga bingung harus melakukan apa. Tanganku begitu saja menepuk-nepuk punggung ayah. Ada perasaan ingin menenangkan ayah.
Ibu yang berdiri disampingku, sudah menitikkan air mata.
Ayah melepaskan pelukannya. Mengamatiku dengan seksama sembari tersenyum. “Lihatlah, kamu sudah besar dan jauh lebih tinggi dari yang ayah bayangkan. Ayah sudah melewatkan masa paling berharga saat-saat membesarkanmu.”

Aku menyunggingkan senyum simpul. “Tapi, ada seseorang yang sangat menantikan ayah melebihi siapapun,” aku memalingkan wajah pada ibu. Ayah bukan sengaja melupakan kehadiran ibu, hanya saja sepertinya ayah bingung harus bersikap bagaimana pada ibu.
“Apakah kamu tidak membenci ayah?”

Aku menggeleng. “Wanita yang ayah nikahi, yang juga ibu arif, nggak pernah membesarkan arif untuk sedikitpun membenci ayah.”

Ayah lalu memeluk ibu. Ibu menangis dipelukan ayah. “Maaf… maaf,” Kata-kata itu yang keluar dari mulut ayah. Walaupun nggak terlihat jelas, aku bisa memastikan bahwa ayah juga menangis.

Aku benar-benar bahagia saat ini. Selama 17 tahun aku belum pernah melihat ibu menangis. Baru hari ini aku melihat ibu seperti ini. Perasaan sedihnya yang mungkin selama ini ibu pendam terluapkan, ketika melihat suami yang dicintainya kembali dalam pelukannya. Mungkin saja tangisan ibu hari ini adalah tangisan bahagia. Kesalahan ayah mungkin mengecewakan ibu di saat itu, namun karena cinta ibu yang tulus, bahkan akupun nggak diberikan kesempatan untuk membenci ayah. Wajahnya selalu tersenyum saat bercerita tentang ayah. Ketika kita tulus mencintai, maka akan tumbuh rasa untuk percaya, menerima, melindungi, dan menghargai. 

Ya… aku akan mencoba melupakan untuk menanyakan alasan sebenarnya ayah ditahan. Kalaupun suatu saat nanti aku mendengar kebenaran masa lalu ayah yang pahit itu, akan kubuang bersama masa sulit ayah itu. Karena ada satu hal yang nggak akan bisa kuhapus, yaitu kenyataan bahwa ia adalah ayah kandungku, orang yang dicintai ibu. Aku yakin ayah telah menyadari kesalahannya.

Pertemuan hari ini pasti menjadi saat yang juga sangat dinantikan ayah. Aku memang belum sepenuhnya memahami ayah. Tapi aku akan berusaha untuk mengganti saat-saat bahagia kami yang hilang. Dan semoga masa lalu pahit yang pernah kami lewati menjadikan kami keluarga yang kuat dan selalu ingat pada Sang Pencipta, dan nggak terjebak kesalahan yang sama.
*  *  *

    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jika tulisan ini bermanfaat tolong dikomentari yach.....