-->

SMS Gratis

Minggu, 13 November 2011

Tak Pantas Kembali

Aku mulai gerah. Suasana siang ini panas sekali. Matahari seperti tengah semangat-semangatnya berbagi sinar pada bumi. Tapi sepertinya matahari tak tahu, makhluk hidup yang ada di bumi merasa kepanasan. Kuperhatikan anak-anak di depanku. Mereka ribut tak tentu arah. Suaranya memenuhi setiap celah dalam ruang berukuran 6x6 meter ini. Ada yang duduk satu meja bertiga, berlima, ada yang keluar masuk kelas, bahkan ada juga yang mengerjakan tugas di mejaku, meja guru. Ada yang mengacau teman-temannya, dan berbagai macam tingkah polah anak-anak berusia rata-rata 12 tahunan. Aku berusaha menyunggingkan senyum melihat tingkah mereka dan berusaha bersabar atasnya. Suaraku yang volumenya pas-pasan ini kalah oleh jeritan dan lengkingan suara mereka.“Bu, no 4 apa, Bu, jawabannya?”Tanya seorang pria kecil bermuka bulat, mata sipit dan berkulit putih. Jelas sekali dia keturunan Chinese. Namanya Daniel. Dibandingkan dengan yang lain, dia yang paling aktif bertanya dan rajin mengerjakan soal. Meskipun sepertinya ada duri (ma’af, ini istilah guru-guruku dulu jika ada murid yang tidak bisa duduk tenang di bangkunya) di pantatnya, namun ia tak pernah absen mengikuti apa saja yang aku instruksikan. Biasanya ia berjalan-jalan keliling kelas sambil membawa LKSnya, sekedar untuk menumpang sejenak dari bangku satu teman ke teman satunya lagi. Tak jarang, ia ‘merebut’ bangkuku, bangku guru. Karena memang aku jarang duduk jika sedang berada dalam kelas. Aku lebih suka berjalan-jalan mengontrol setiap sudut kelas.
“’Bayi secara perlahan akan memiliki kemampuan mengisap, menelan, dan memegang, hal ini menunjukkan peristiwa…’” kataku mengeja kata demi kata soal no 4 yang ditunjukkannya padaku. “Coba kamu buka halaman 14. Nah, yang ini. Kamu baca dari bagian ini sampai bagian ini.” Jawabku sembari menunjukkan bagian yang terdapat jawaban pertanyaannya.

“Bu, Bu, nomor 6 apa bu?” Seorang gadis berambut panjang diikat ekor kuda menghampiri dan menggamit lenganku sambil menyodorkan LKSnya.
“Bu….. Daniel nia bu.. suka gangguin kite…”. Teriak satu anak lagi di bagian belakang.
“Ndak bu, mane ade.. Kite cuma mau pinjam buku jak..”
“Bu, Mikola duduk di bangku kite bu….”

^_^

Lucu ya…belum sempat kita jawab pertanyaan si A, dua tiga pertanyaan, bahkan aduan terus memberondong.
Belum genap satu bulan aku mengajar di sini sebagai guru les IPA. Mengenal mereka yang lucu-lucu dan masih polos seperti menguji kesabaranku sebagai seorang guru. Dengan tingkah polah yang beraneka macam dan sulit di tebak, kadang sok tahu dan sok dewasa. Sok memerintah dan sok cuek tak peduli. Sok cool dan sok cari perhatian. Paling ribut dan paling pendiam. Paling anteng dan paling dominan.

“Bu, ijin ke WC bu ya..”
“Bu kerjakan yang mana ni?”.. (padahal udah lima belas menit yang lalu kita meneriakkan halaman yang harus dikerjakan)
“bu, yang gak bawa LKS gimana?”
“kalian kerjakan di keras satu lembar saja..”
“Langsung jawab ya bu..”
“Iya..”
“Bu, kalo gak cukup boleh disambung di baliknya gak?”
“Boleh…”
Bla bla bla … dst

Namun bagiku, keributan di kelas bukanlah hal yang buruk. Masa-masa usia mereka memang masa-masa aktiv bermain. Bahkan seharusnya bermain menjadi proses belajar bagi mereka. Ya.. aku tidak bisa sepenuhnya menyalahkan mereka atas keributan yang terjadi. Jam les yang menggunakan jam pulang sekolah memang kurang efektif. Mereka sudah belajar seharian, tapi musti ditambah lagi jam pelajaran tambahan.

***************

“Bu, Kite ndak bawa bukunya.” Kata seorang anak dengan nada yang kurang enak di dengar.
“Kenapa? Memangnya buku kamu kemana?” Tanyaku.
“Ndak ade.” Jawabnya masih dengan logat melayunya yang kental.
“Hilang atau gimana..?” Tanyaku masih berusaha sabar.
“Ndak tahu. Ndak ade.” Jawabnya semakin ketus.
“Ya udah, kamu kerjakan di kertas satu lembar saja, soalnya kamu lihat teman sebangku. Nanti kalau bukunya sudah ketemu, jawabannya kamu salin lagi..”
Dia nyelonong begitu saja.

Perawakannya berbeda dari yang lain. Badannya kurus, pakaiannya lusuh, rambut pirangnya panjang menutup telinga. Tutur bahasanya sedikit kasar. Entah mengapa tiba-tiba timbul kesan negatifku padanya. Pernah pada suatu saat aku sedikit keawalan masuk kelas. Tiba-tiba dia menghadangku di pintu. Kaki dan tangannya ia naikkan ke atas, di sandarkan pada tepian pintu.
“Gak boleh masuk.” Katanya dengan nada dan wajah yang tidak bersahabat.
“Permisi ya… Ibu mau masuk.”
“Gak boleh.” Bentaknya lagi.

Tanganku yang mencoba melepas tangannya dari pintu, ditepisnya dengan kasar. Belum lagi tingkahnya pada hari-hari selanjutnya. Pernah pada suatu hari, karena ruang kelas digunakan untuk pertemuan wali murid, maka kegiatan belajar di pindah di ruang perpustakaan. Ruang yang terletak di lantai dua gedung sekolah di setting dengan tempat lesehan. Terdapat enam buah meja. Mereka harus duduk berkelompok mengelilingi meja. Saat diberi kesempatan untuk istirahat, mereka mulai bermain sehendak hati mereka. Ada yang baca-baca buku, main lempar bola kasti. Si anak yang sempat menimbulkan kesan negative itu berlari-lari di atas meja. Sungguh tingkahnya sangat menyebalkan.

Sudah menjadi kebiasaan bagi anak-anak murid, mereka membawa bekal dari rumah. Mereka akan menyantapnya saat istirahat berlangsung. Saat itu waktu istirahat tengah berlangsung. Beberapa anak-anak ada yang mulai membuka dan menikmati bekal mereka. Ada yang keluar menuju kantin. Aku masih tinggal di dalam kelas menemani mereka istirahat. Karena aku harus mengontrol mereka agar keributan mereka tidak overloud.
Anak kurus berambut pirang itu menikmati es nya. Matanya sesekali memperhatikan teman-temannya yang sedang menyantap bekal.
“Kamu gak bawa bekal?” Tanyaku padanya.
“Gak.” Jawabnya masih dengan nada ketus.
“Kenapa?”
“Mereka nyaman bu. Ana emak. Kite tak ada emak.”
Deg. Detak jantung serasa berhenti berdetak.
“Emak kite udah meningggal bu, dari kite kecil. Kite tinggal dengan nenek. Bapak kite pun tak ade. Bapak kite pisah tingglnya dengan kite. Jadi kite tinggal dengan nenek dan tante jak.”
Terjawab sudah semuanya. Hati harus lebih perbanyak istighfar. Aku menyesal sudah su’udzon dengan anak itu. Ternyata dia anak piatu. Sampai-sampai ia tak pernah menikmati bekal dari rumah seperti teman-teman lainnya. Dan ku yakin. Kasih sayang yang ia dapatkan juga tidak selengkap yang teman lainnya dapatkan. Pantas saja tingkahnya seperti itu. Ia hanya membutuhkan perhatian. Ia mencari perhatian. Sejak saat itulah, aku berusaha untuk memberikan kasih sayang padanya sebisa ku. Ma’afkan ibu ya, nak..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jika tulisan ini bermanfaat tolong dikomentari yach.....