-->

SMS Gratis

Sabtu, 12 November 2011

Balada Hati Si Bungsu

By : Arie Ammara KPK

Assalamu’alaykum. Perkenalkan, namanku Yunan. Yunanda Amira. Aku bungsu dari empat bersaudara. Sekaligus menjadi anak orang tuaku yang paling cantik. Bagaimana tidak? Aku adalah anak perempuan satu-satunya. Kakakku yang pertama sudah berusia sekitar 23 tahun. Sekarang ia merantau ke negera tetangga untuk mencari penghidupan. Namanya Imam Pramono. Ya. Harapanku, ia bisa menjadi imam nantinya.
Kakakku yang kedua bernama Sulaiman Baim. Aku menyebutnya Mas Baim pernah mondok di sebuah pondok pesantren di desaku. Tiga tahun ia di sana, namun sepertinya tidak membawa perubahan berarti. Sekarang Mas Baim memilih bekerja sebagai pengemudi eksavator di daerah lain. Sedangkan kakakku yang ketiga, sampai saat ini tetap istiqamah tinggal di pondok yang sama dengan yang ditempati Mas Baim dulu. Satu bulan yang lalu, tepat satu tahun ia tinggal di pondok itu.

Berbeda dengan Mas Baim, Mas Angga lebih bisa mempelajari ilmu dari pondok dan mengaplikasikannya dalam keseharian. Tak jarang, ia mengingatkan aku untuk sholat dan mengenakan jilbab, kalau pas Mas Angga pulang ke tempat nenek kami, tempat aku tinggal sekarang. Sementara aku, hanya cengar-cengir dengan tampang innocent kalau Mas Angga memintaku memakai jilbab. Nanti aja kalau sudah SMA, jawabku sambil tersenyum malu.

Aku anak bungsu, dan satu-satunya anak perempuan dan anak yang paling sengsara. Si bungsu yang sengsara, menurutku.

Bayangkan saja, aku terlahir saat perekonomian keluargaku benar-benar carut marut. Ayahku yang hanya seorang petani mengalami gagal panen karena terserang hama walang sanget. Sawah seluas satu hektar yang dengan susah payah digarap olehnya, tidak sedikitpun membuahkan hasil. Padahal, hutang ayahku untuk membajak, mengupah orang untuk membantu menanam padi, membeli pestisida pembunuh gulma dan hama telah menumpuk. Belum lagi tenaga yang dikeluarkan selama kurang lebih 3 bulan, yang setiap harinya tidak pernah berhenti. Berangkat setelah sholat subuh dan pulang sebelum matahari tenggelam di ufuk barat. Semua itu harus terbayar dengan hanya ucapan Innalillah. Saat itulah, aku terlahir…….

Ibuku adalah seorang ibu rumah tangga murni. Kesehariannya hanya meliputi dapur, sumur, kasur, ngeluyur, ngelantur, eh, ma’af, ma’af. kebablasan. Hehe.. Pagi hari ibuku bangun jam 4, setelah sholat subuh (Alhamdulillah, kedua orangtuaku tidak pernah meninggalkan sholat dengan sengaja), ia segera ke dapur dan berkreasi di sana. Mulai dari mencuci piring, menanak nasi, goreng telur, mengelap lantai, sampai terkadang juga mengusir laba-laba yang menumpang hidup di langit-lagit rumah.

Kira-kira, ibuku dosa gak ya.. kan kasian laba-labanya jadi gak punya rumah. Setelah itu, ia akan mengurusi kakak-kakaku berangkat sekolah. Mulai dari menyiapkan baju seragam, sepatu, dan juga sarapan. Setelah kakak-kakakku berangkat, ibuku juga ikut pergi, tapi bukan untuk menunggui kakak-kakakku (memangnya masih TK, pake ditunggui segala, J) melainkan untuk ke warung sebelah, sekedar untuk mencari teman nasi, untuk di santap nanti siang. Pekerjaan ibuku setelah berkreasi di dapur adalah membersihkan rumah sampai benar-benar super amat sangat bersih. Saking pembersihnya, pernah pada suatu ketika, ibuku tanpa sengaja membuang kertas kucel yang ia temukan ada di kamar Mas Baim. Dikiranya kertas itu sudah tidak lagi di pakai, ternyata……. Itu kartu ulangan umum Mas Baim. Alhasil, Mas Baim tidak bisa masuk ruangan karena kartu ulangannya tidak ada. L Tapi akhirnya, pak gurunya yang baik hati itu mau membuka hati untuk mendengarkan curahan hati Mas Baim. (Hehehe…agak L-E-B-A-Y ya… J )

Pelajaran 1: periksa terlebih dahulu sebelum membuang barang yang bukan milik kita

Alasan kedua kenapa aku bilang tadi, aku adalah anak malang di rumahku adalah orang tuaku bercerai saat aku baru berusia dua tahun. Ibuku tidak tahan hidup dengan ayahku yang masih belum bisa mengembalikan perekonomian keluarga kami seperti dulu. Ibuku memilih bercerai dan tidak mengizinkan ayahku membawa seorangpun dari kami, anak-anaknya. Keputusan itu diambil setelah pertengkaran yang entah berapa puluh kali terjadi di rumahku, pada akhirnya memuncak.

Pagi itu, menjadi awal kesedihan yang mendalam di hari-hariku selanjutnya. Dan hari-hari kakak-kakakku juga pastinya. Ketika ibuku membuka toples penyimpanan beras. Dan apa yang terjadi??????Ibuku hanya mendapati segenggam beras di sana. Sedangkan uang di dompet sudah tak ada lagi. Malamnya Mas Baim lapor bahwa ia harus segera membayar uang SPP yang sudah menunggak selama empat bulan. Sepatu Mas Angga yang saat itu baru kelas satu SD, sudah koyak di bagian depannya. Sehingga teman-temannya sering menjulukinya sepatu buaya lapar. Maklumlah, itu sepatu bekas Mas Baim. Mas Angga yang masih kecil tentu saja merengek minta dibelikan sepatu baru. Sedangkan Mas Imam, sudah saatnya melanjutkan sekolah ke SMP. Namun karena kondisi keluarga sangat sulit, maka Ayah memutuskan untuk “menganggurkan” Mas Imam setahun. Tahun depan, jika sudah ada rejeki, Mas Imam akan disekolahkan di SMP. Usiaku baru satu tahun saat itu.

Saat itu ibuku benar-benar tak mampu lagi menahan penderitaan. Hutang sudah menumpuk. Ibuku stress. Ia sering menangis sendiri. Sedangkan ayahku sudah berusaha semaksimal mungkin untuk mengembalikan kesejahteraan keluargaku. Tapi nihil. Tibalah pada puncaknya. Ibuku menggugat cerai Ayah. Berkali-kali. Letih sudah ayah menenangkan ibu dan memintanya bersabar.

“Sabar. Sabar. Sampai kapan aku harus bersabar??? Pokoknya aku gak mau tahu, ceraikan aku sekarang!”

Ayahku tak dapat berkata apa-apa lagi. Ayah hanya bisa menasehati ibu dengan lembut. Ia adalah seorang laki-laki yang sangat penyayang. Sabar. Dan tidak tegaan kepada kaum hawa. Ia santun kepada mereka. Tidak heran, jika Ayah sangat menyayangiku dibandingkan dengan kakak-kakakku. Hingga akhirnya ibuku mengundang keluarga dan tokoh mayarakat di kampungku. Ia menyatakan bahwa ia ingin bercerai dengan ayahku. Nasehat tak didengar. Semua petuah dan tawaran-tawaran solusi tak dapat diterima. Ibuku bulat dengan pilihannya. Berpisah dengan ayahku. Dan kami, anak-anaknya hanya bisa menahan hati. Menangis dalam diam, meratap dalam bungkam.

Tiba-tiba ibuku menjadi manusia yang sangat keras kepala. Ia menjadi orang yang sangat pemarah. Tak jarang kami menjadi sasaran amarahnya. Dan parahnya lagi, tak ada satupun dari kami yang diperbolehkan ikut ayah.

Kini, tiga belas tahun berlalu. Aku sudah duduk di kelas VIII SMP. Mas Angga sudah kelas XII Madrasah Aliyah Negeri. Kami sudah dewasa. Namun kami tak merasakan keutuhan kasih sayang dari kedua orang tua kami. Kini aku tinggal bersama nenek dari sebelah Ayahku. Ibuku memilih bekerja untuk mengumpulkan pundi-pundi tabungannya. Ia sama sekali tidak memikirkan kami, anak-anaknya yang sangat haus akan kasih sayang. Aku selalu merasa iri melihat anak-anak yang bisa bermanja ria dengan orang tuanya. Minta dibelikan ini, dibelikan itu, atau bahkan hanya menggelendot manja di pangkuan ibunda dan ayahnya. Sementara aku, hanya bisa memandang iri apa yang aku lihat.

Aku benci dengan ibuku. Tapi biarlah. Biarlah aku menikmati semua ini dengan senyuman tanpa arti. Senyuman keputusasaan.

Tidak.

Bukan putus asa. Tapi kepasrahan. Aku pasrah dengan apa yang Allah ujikan. Bahkan dari awal aku dilahirkan ke dunia ini, cobaan seperti tak pernah lepas dari hidupku. Aku akan mencoba terus bersabar. Laa yukallifullahu nafsan illa wush ‘aha. Allah tidak akan menguji hamba-Nya diluar batas kemampuan hamba-Nya. Itu yang sering aku dapat dari Mas Angga. Ya. Aku yakin aku mampu menghadapi semua ini. Kini aku tetap tersenyum walau kerap kali perih itu datang. Aku akan tetap bertahan. Ya Rabb, ridhoilah hamba.. Aminnn….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jika tulisan ini bermanfaat tolong dikomentari yach.....