-->

SMS Gratis

Minggu, 13 November 2011

Ditinggal Pergi

bY : Ari Ammara KPK

“Tahu. Tahu…..” Suara itu terdengar lagi olehku yang tengah asyik mengocok telur di dapur, sama seperti dua hari terakhir pada kepulanganku saat ini. Seperti biasa, rutinitas pagi yang kujalani saat pulang kampung. Memasak, mencuci, dan mengerjakan pekerjaan perempuan lainnya. Seperti saat ini, aku sedang membuat sarapan.

“Ndok1), mau beli tahu ndak?”
“Boleh juga, mak2).” Sahutku pada yang bertanya. Ia adalah ibuku. Ia sedang sibuk di depan mesin jahitnya, menyelesaikan beberapa lembar pakaian pesanan para pelanggannya.

Aku segera beringsut dan menghentikan sejenak pekerjaanku. Klik. Kumatikan kompor yang tadi sudah kunyalakan. Aku tak ingin ‘bulek3) tahu’ (sebutanku untuk orang yang jualan tahu) terlalu lama menungguku. Kudengar tadi ibuku sudah memberi aba-aba pada bulek tahu bahwa kami akan membeli tahunya. Kusambar jilbab dan segera berlari kecil menuju depan rumah.

“Tahunya, bulek.” Sapaku

“Tahu apa mbak? Tahu Pontianak opo4) tahu kempong?” Tanyanya dengan logat jawanya yang kental.

“Pinten regane5)?” Tanyaku dengan bahasa jawa halus.

“Seng6) tahu Pontianak lima ngatus7), tahu kempong rongatus seket8). Pileh seng endhi9)?” jawabnya.

“Tahu Pontianak e gangsal10), tahu kampong sedhoso11). Niki yotro ne12).” Jawabku sambil menyerahkan satu lembar uang puluhan ribu.

Sebagai keturunan orang jawa, ibuku selalu bilang, untuk menghormati orang yang lebih tua, sebaiknya kita menggunakan bahasa jawa halus bahasa jawa halus dalam berkomunikasi. Tapi itu juga bukan suatu kewajiban, si. Jika bisa, lebih bagus. Tapi jika tidak bisa, ya tidak mengapa. Namanya juga anak ‘sekarang’, demikian kata mereka. Aku sendiri, tidak terlalu menguasai, tapi cukup tahu sedikit-sedikit.

“Niki13) tahunya, niki kembaliannya. Matur nuwun14) nggeh15), Mbak..” katanya sambil memberikan uang kembalian padaku.

“Sami-sami16), Bulek..” Jawabku.

Ibu itu terus menaiki sepedanya lagi. Tapi, sepertinya ada yang aneh. Kuperhatikan ibu itu seperti kesulitan saat hendak duduk di sedel. Saat itulah baru aku sadar bahwa kakinya kecil sebelah. Mataku terus menatapnya sampai ia hilang dari pandanganku. Tiba-tiba aku merasakan perasaan yang aneh. Entah apa. Sepertinya gerimis tipis mulai turun di hatiku.

***********************

“Dia itu orang baru di sini. Baru dua minggu.” Ujar Ibuku memberikan jawaban saat kutanya perihal bulek penjual tahu tadi pagi. Matanya tak bergeming menatap bordiran pakaiannya, sambil tangannya terus menjahit.

“Rumahnya di mana, Mak?” Tanyaku.

“Rumahnya di samping rumahnya Bu Darso. Depan sana tu lho. Beliau itu masih saudaranya Bu Darso.”

“Rumah yang kosong itu?” Tanyaku lagi

“Iya.. Kata Bu Darso, daripada kosong, lebih baik ditinggali saja. Biar ada yang merawat, meskipun ndak bayar uang sewa.” Jawab Ibuku lagi.

“Memangnya Bulek itu pindahan dari mana?”

“Namanya Bulek Surti. Dari Madiun. Mamak juga kurang kenal si. Setahu Mamak, bulek itu uwes17) gak punya suami. Wong18) sehari-harinya sendiri. Kenapa? Kok dari tadi kamu nanyain Bulek itu terus.” Tanya ibuku heran.

“O. Ndak. Ndak papa kok, Mak.” Jawabku.

Sejak saat itu, pikiranku seperti dihantui bulek Surti. Rasa penasaran akan seluk beluk bulek Surti semakin menggebu-gebu. Hingga beberapa hari selama aku berada di rumah, aku menjadi langganan tahu bulek Surti. Tak pernah absen membeli tahu. Ia mengambil tahu dari produsen dan menjualnya keliling ke rumah-rumah. Begitu kesehariannya tiap pagi. Siangnya, ia mengolah kebun di belakang rumahnya dengan menanaminya berbagai macam sayuran, seperti kangkung, bayam, tomat, dan juga cabe.

*************************

Langit gelap. Aku yakin, tidak sampai lima menit lagi, butir-butir air akan sampai dan membasahi bumi yang sudah mulai berdebu. Dengan gelisah aku menunggu dilayani. Lumayan ramai juga yang belanja sore ini, sehingga antrian lumayan panjang dan sempat terlintas dibenakku untuk pulang saja tanpa menunggu lebih lama lagi. Tapi aku menurungkan niatku itu.

“Beli apa, Mbak?” Tanya si penjual.

Alhamdulillah. Desahku dalam hati. Akhirnya tiba juga giliranku.

“Tepung 1 kg, telurnya lima.” Jawabku.

“Apalagi?” Tanyanya lagi.

“Udah, Mbak.” Jawabku.

“Dua belas ribu lima ratus.” Katanya sembari menyerahkan barang belanjaanku.

“Makasi, Mbak.” Kataku sambil menerima bungkusan plastik itu dan menyerahkan uang pas.

Segera kustater Beatku. Aku tak mau kalah dengan laju air dari langit. Angin mulai menerpa wajahku dengan kuat. Menerbangkan ujung-ujung jilbabku. Tak berapa lama setelah itu, air seperti tercurah dari langit. Membasahi bumi dan tentu saja aku. Jalanan jadi licin karenanya. Dalam sekejap saja, aku sudah basah kuyup. Sesekali aku mengelap mukaku dengan tangan kiriku. Sementara tangan kananku tetap mengendalikan motorku. Saat mataku sedang terpejam, ban motorku tergelincir karena jalanan tanah putih semakin licin. Tanpa ampun, motorku tumbang dan aku jatuh ke tanah. Kaki kiriku tertimpa motor. Sementara rok, baju dan kaus kakiku sudah penuh dengan lumpur jalanan.

Ughh.. Astaghfirullahhal’adziim.. Sakit sekali kakiku. Aku berusaha melepaskan kakiku dari himpitan motor. Tapi tak bisa. Tiba-tiba kulihat seorang ibu tua berlari kecil mendekatiku. Larinya pincang , dengan paying di tangan kanannya. Dengan segera ia beririkan motorku, menstandarkannya. Lalu ia menarik tanganku.

“Ya Allah, ngger19)…. Iki mau piye lo kok iso tibo20)??” Tanyanya panik.

Aku hanya bisa meringis menahan perih luka-lukaku.

“Ayo. Mamper21) ke tempat Bulek.” Ajaknya sambil menuntunku berjalan.

***************

Kusapu pemandangan disekelilingku. Rumahnya cukup rapi dan luas. Ada satu set sofa yang warnanya sudah mulai pudar. Busa-busanya pun sudah mengempis, sehingga lekungan-lekungan itu terlihat jelas. Ada sebuah meja tua di pojok kanan ruangan. Di atas meja yang kakinya sudah mulai lapuk dimakan rayap itu, terdapat sebuah bingkai foto dengan beberapa foto berukuran kecil. Foto-foto itu seperti diatur sedemikian rupa, sehingga meskipun sederhana, namun ia tertata sangat menarik. Kudekati dan kuamati foto itu.

“Itu anak-anak Bulek.” Kata Bulek mengejutkanku.

“Alhamdulillah sekarang mereka sudah hidup bahagia.” Katanya sambil meletakkan sepiring singkong goreng dan teh hangat di meja. Lalu matanya menerawang menembus tembok rumah dan melesat sampai batas yang tak kuketahui. Kulihat senyum bahagia di bibirnya, namun aku juga merasakan aura kekecewaan dari sorot matanya. Aku duduk di sampingnya.

Tib-tiba, ia tersadar dari lamunan sekejapnya.

“Eh, Nak. Monggo22) di makan singkong gorengnya. Tehnya diminum. Biar anget23).” Katanya padaku.

Aku hanya mengangguk.

“Anak Bulek kemana?” Tanyaku hati-hati sebelum menyeruput teh hangat. Alhamdulillah. Tubuhku terasa hangat sekarang.

Ia tersenyum sesaat.

“Anak Bulek ada tiga orang, dua laki-laki dan satu orang perempuan. Yang mbarep24), namanya Wahid. Setelah lulus SMA, dia minta dikuliahkan. Waktu itu Bulek ndak ada biaya. Suami Bulek hanya buruh tani. Penghasilannya ndak tentu. Sementara Bulek, dulu itu jualan pecel di depan rumah. Tapi karena si Wahid itu punya kemauan keras untuk kuliah, dia nekat merantau ke kota untuk kuliah sambil bekerja. Ya, Bulek cuma bisa ngirimin sedikit-sedikit tiap bulannya. Karena memang, penghasilan kami yang sedikit, selain untuk kebutuhan dapur, juga harus dibagi-bagi untuk keperluan adik-adiknya juga.” Ia kembali terdian dan menatap jauh ke depan. “Tapi Alhamdulillah, sekarang Wahid sudah berhasil. Dia punya beberapa bengkel mobil di Semarang sana, dan sekarang sudah berkeluarga. Anaknya sudah dua.” Lanjutnya. Kali ini dengan snyum tulus tersungging di bibirnya.

“Yang ini, yang nomor dua.” Lanjutnya sambil menunjukkan padaku gambar seorang anak perempuan yang manis dengan rambut sebahu. “Namanya Isnaini. Sama seperti masnya, dia juga nekat kuliah. Semua biaya ya, kami yang menanggungnya. Untuk membiayai kuliah Isnaini ini, kami sangat bekerja keras. Ini, kaki Bulek sampai seperti ini.” Katanya sambil menunjukkan kakinya yang tak sempurna itu. “Ini karena banyak bekerja. Tapi alhamdulillah juga, Isnaini sekarang sudah jadi guru dan sudah menikah. Sekarang dia ikut suaminya di Jogja. Terakhir Bulek dengar, dia sudah melahirkan anak pertamaya.”

Kulihat mata Bulek memerah dan berkaca-kaca. Tapi ia masih bisa menahan supaya air bening itu tak jatuh. “Kalau yang ini, namanya Ragil.” Lanjutnya sambil mengalihkan tangan menunjuk gambar seorang bocah laki-laki kecil dengan seragam SD. “Allah lebih sayang padanya daripada Bulek. Umur delapan tahun, ia harus dipanggil kembali oleh-Nya. Ia meninggal karena demam tinggi. Pada waktu itu, kami terlambat membawanya ke dokter,” Kali ini, Bulek tak kuasa menahan air matanya untuk meleleh di pipi tuanya. Aku tak sampai hati untuk tidak menenangkannya. Kuusap-usap bahunya untuk sekedar menenangkan hatinya.

“Suami Bulek sudah meninggal, dua bulan yang lalu. Rumah Bulek di Madiun sana Bulek jual dan Bulek pindah ke sini. Bu Darso ini, masih keluarga jauh Bulek.” Katanya sembari menyeka air mata di pipinya.

“Terkadang Bulek kangen banget sama anak-anak. Tapi Bulek juga sadar, mungkin mereka sibuk sehingga ndak punya waktu untuk Bulek. Biarlah Bulek akan tunggu mereka di sini, sampai mereka sadar dan ingat untuk mengunjungi Bulek. Bulek selalu doakan mereka” Katanya sambil berusaha tersenyum dan terus mengusap air mata yang semakin deras di pipinya.

Hujan sudah mulai mereda. Tinggal gerimis tipis yang masih tersisa. Namun, gerimis di luar sana dan tak sesetia gerimis di hati bulek Surti dalam menanti kehadiran anak-anaknya.



Foot Note's:

1) Panggilan kesayangan orang jawa untuk anak perempuan

2) Emak; ibu

3) Bibi; Tante

4) Apa

5) Berapa harganya

6) Yang

7) Lima ratus

8) Dua ratus lima puluh

9) Pilih yang mana

10) Lima

11) Sepuluh

12) Ini uangnya

13) Ini

14) Terima kasih

15) Ya

16) Sama-sama

17) Sudah

18) Orang

19) Sayang

20) Ini tadi bagaimana, kok bisa jatuh?

21) Singgah

22) Silahkan

23) Hangat

24) Pertama

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jika tulisan ini bermanfaat tolong dikomentari yach.....