-->

SMS Gratis

Rabu, 12 Juni 2013

Kisah Sukses Seorang Writerpreneur

   Ia kini hidup dari dunia penulisan, membuat skenario sinetron juga mendirikan kelas menulis. Dua-duanya sama-sama menguntungkan.

LAZIMNYA bagi lulusan perguru an tinggi, bekerja di perusahaan merupakan target yang ingin dicapai. Itu juga berlaku buat Asri Rakhmawati. Seusai menuntaskan pendidikan diplomanya pada 2006, ia rajin melamar kerja.
“Namun ternyata rajin pula ditolak. Dalam setahun sudah 13 kali saya ditolak, hingga hampir menyerah. Saat menganggur, saya kembali menggeluti bakat dan hobi menulis,“ kata Aci, begitu sapaan akrab perempuan 28 tahun itu.

Aci mengaku sudah senang menulis sejak SD, pun gemar membaca buku. Namun, ia sengaja memilih jurusan bisnis manajemen dengan anggapan akan lebih cepat mendapat kerja.
“Saya pikir jurusan itu akan membuat saya mudah dapat kerja, enggak tahunya malah ditolak-tolak, haha. Selama setahun nganggur itu, saya nulis lagi, kirim ke berbagai media, ditolak-tolak juga. Sampai akhirnya cerpen saya laku dan dimuat di sebuah media,“ tutur Aci.
Tak sempat bekerja di perusahaan swasta seperti lazimnya lulusan diploma dan sarjana lainnya, Aci diajak temannya semasa di Forum Lingkar Pena (FLP), Imam Salimi, untuk menulis skenario sinetron. FLP ialah komunitas penulis yang sebagian besar anggotanya masyarakat awam.

Menulis skenario Skenario-skenario pertama Aci, Si Entong dan Abu Nawas dari Betawi, dipakai salah satu televisi swasta, yang saat itu masih bernama Televisi Pendidikan Indonesia. Setahun kemudian, memasuki 2007, Aci juga menulis untuk program serial anak, film televisi (FTV), hingga sinetron komedi.
Tantangan terbesar dalam penulisan skenario ialah tenggat. Aci mencontohkan, jika sinopsis cerita disetujui di pagi hari, malam harinya produser ataupun sutradara sudah harus menerima naskah utuh.
“Lama-kelamaan saya terbiasa dengan ritme tersebut. Pasalnya, selain memang suka menulis, ini profesi saya,“ kata Aci. Aci pun makin intens menulis. Novelnovelnya pun terbit pada 2007. Selang dua tahun setelah memilih bidang penulisan sebagai kariernya, beberapa teman datang meminta diajari cara menulis skenario atau cerpen.
Beberapa sekolah pun mengundangnya untuk menjadi pemateri dalam pelatihan penulisan. Seiring dengan suburnya minat publik di bidang penulisan, muncullah ide membuat tempat kursus.
“Banyak yang ngeluh ke saya, mau nulis tetapi enggak tahu memulainya. Akhirnya saya bentuk kelas dengan lima murid di kelas cerpen. Saat itu saya juga masih bekerja sebagai penulis skenario untuk beberapa program televisi,“ tukasnya bersemangat.
Kelas menulis Pada 2009, bisnis kelas pelatihan menu lis bertitel Rumah Pena kemudian didirikan Aci dengan modal awal Rp17 juta untuk membeli peralatan kelas, meja, kursi, termasuk membuat banner. Saat itu, Aci mengaku sebenarnya geliat industri hiburan telah memberinya kompensasi besar.
“Tapi, saya suka mengajar. Saya juga merasa sangat terbantu, apalagi jika ada permintaan naskah yang berbarengan dari beberapa rumah produksi. Saya sering mengajak beberapa murid yang sudah mampu untuk menangani skenario,“ kata Aci. Menulis, tegas Aci, jika ditangani maksimal, bisa jadi profesi menjanjikan. Banyak murid Rumah Pena yang awalnya belum bekerja kini sudah bisa ikut menggarap skenario.
“Kan kalau ada permintaan buat skenario, enggak mungkin semua dipegang saya. Saya bagi-bagi ke murid yang sudah cakap,“ ujar penyuka kisah fiksi dan fantasi itu. Kini, meski tengah mengandung anak keduanya, Aci tetap mengajar. Hingga kini 200 peserta kelas menulis telah bergabung di Rumah Pena. Aci, dengan dibantu lima tenaga pengajar, membuka tiga jenis kelas, tatap muka, online, dan privat.
Untuk kelas online, Aci menggunakan Facebook dan Yahoo Messenger untuk berinteraksi dengan muridnya yang bertempat tinggal jauh dari lokasi Rumah Pena. Pada setiap pertemuan, Aci selalu memberikan pekerjaan rumah secara bertahap agar kemampuan sang murid terasah.
Berdasarkan genre penulisan, Rumah Pena membuka kelas cerpen, novel, skenario, dan manga. Sebagian besar murid Rumah pena berusia 25 tahun ke atas. Sebanyak 70% ialah para ibu dari kelas menengah. Padahal sasaran awal yang dibidik Rumah Pena ialah anak-anak.
“Alasannya ya karena dengan mengajar anak-anak, kita bisa mengasah talenta mereka sejak dini. Tapi ternyata yang ikut sekarang mahasiswa dan para ibu. Kalau anak kecil kan uangnya masih bergantung pada orangtua, dan masih sedikit orangtua yang membuka mata terhadap keterampilan ini,“ kata Aci yang menjadi salah satu finalis Wirausaha Muda Mandiri 2013 untuk kategori usaha kreatif.
Sebagian peserta kelas Rumah Pena memang awalnya telah senang menulis, tapi ada pula yang sekadar mengisi waktu luang. Semua genre kelasnya diselenggarakan selama tiga bulan. Biaya per bulannya bervariasi, cerpen Rp400 ribu, novel Rp600 ribu, dan skenario Rp 800 ribu. “Nah kalau mau belajar nulis skenario, sebaiknya sudah terbiasa dengan cerpen.
Bedanya, kalau skenario itu kita atur gerak tokohnya juga, misal tokoh A berjalan ke arah meja dengan dialog bla bla bla. Kalau cerpen kan tidak. Skenario juga layaknya skripsi, sering muncul revisi dari produser ataupun sutradara,“ seru Aci sembari terbahak. (M-3) | Sumber Media Indonesia (11/5/2013)
http://jusman-dalle.blogspot.com/2013/05/kisah-sukses-writerpreneur.html#more

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jika tulisan ini bermanfaat tolong dikomentari yach.....