Sardini Ramadhan
Indonesia
merupakan negara yang banyak dihuni oleh
para perokok berat. Menurut data yang dilansir pertengahan 2011 lalu,
jumlah perokok di Indonesia merupakan terbesar ke-3 di dunia, setelah Cina dan
India.
Tak ada tempat yang aman di negeri ini dari hembusan asap para perokok. Diatas
motor mereka merokok. Dibecak mereka merokok. Didalam kantor mereka merokok.
Diruangan ber AC mereka merokok. Bahkan dirumah sakitpun para perokok berat itu
tetap mengepulkan asap rokoknya.
Kementerian
Kesehatan (Kemenkes) mempublikasikan data yang dihimpun Global Adult Tobacco
Survey (GATS), bahwa 190.260 orang di Indonesia meninggal dunia akibat konsumsi
rokok. Jika dirata-rata, berarti setiap hari terdapat 500 orang yang meninggal
akibat rokok. Ironisnya sebagian besar ahli hisab (perokok) itu
adalah orang-orang miskin. Mereka tak peduli perut keroncongan, asal rokok
telah terjepit diantara telunjuk dan
jari tengah semua masalah seolah tanpa masalah. Mereka baru sadar tentang
bahaya rokok saat tubuh bergegar menahan batuk. Jantung terguncang memompa
darah beracun. Hidung tersengal menghisap oksigen. Tubuh terbaring menanti
ajal. Mereka baru insaf saat timbunan
racun dan jutaan zat perusak yang dihisab bertahun-tahun itu mulai
mengkudeta ketangguhan imun tubuhnya.
Para
rerokok berat tersebut tidak mengenal usia. Bukan hanya kalangan dewasa tapi
juga sudah mewabah pada anak-anak dibawah umur. Berdasarkan riset dari Komnas
perlindungan anak tercatat dari tahun 1995 hingga 2007 ada 45 juta anak dibawah
umur yang merokok. Mereka menjadi perokok aktif dari umur 10 hingga 14 tahun.
Anak-anak sebagai perokok pasif sudah ada lebih dari 100 juta keluarga. Di tengah
penurunan jumlah perokok di negara-negara maju, pertumbuhan rokok di kalangan
generasi muda Indonesia merupakan yang tercepat di dunia.
Survei
Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) 2006, proporsi pengeluaran bulanan keluarga
miskin untuk tembakau sebesar 11,9 persen dua belas kali lebih besar dari
pengeluaran untuk pendidikan yaitu 0,8 persen . Belanja Rokok No. 2 setelah
Padi-padian pada keluarga miskin. Sedangkan kontribusi penerimaan dari Cukai
Tembakau 6,6 % tahun 2008. Hal ini menunjukkan bahwa pengeluaran akan rokok
tidak sebanding dibanding dengan pemasukan yang diterima oleh negara. Rokok
menyebabkan orang miskin semakin miskin.
Selama
ini dalih pemerintah enggan menutup perusahaan rokok dikarenakan cukai rokok
yang besar dan menyerap ribuan tenaga kerja. Sampai saat ini, penerimaan negara
terkait cukai pun masih sangat minim bila dibandingkan dengan negara-negara
lain di dunia. Misalnya saja di Amerika, harga rokok mencapai 6 dollar lebih.
Di Brunei dan Malaysia, harga rokok 3-4 kali harga rokok di Indonesia. Faktanya
tak ada satupun hasil devisa negara dari rokok itu dibayar oleh produsen rokok.
Mau buktinya? Dari setiap harga Rp 10.000 per bungkus, harga rokok tersebut
sebenarnya Rp 8.000. Yang Rp 2.000 itu cukai atau pajak rokok itu sendiri. Jadi
57 trilliun devisa negara dari keuntungan rokok itu sebenarnya bukan dari
produsen rokok. Tapi semua itu dibayar oleh rakyat Indonesia sendiri.
Bila dihitung rata-rata upah petani tembakau <50 %
upah nasional dan rata-rata upah buruh rokok 73 % dari industry pengolahan
lain. Artinya upah dari para petani dan buruh tembakau pun sangat rendah.
Jumlah petani Tembakau tahun 2007 =
582.063 atau sekitar o,6 % seluruh tenaga kerja di Indonesia.
Pekerja Industri rokok pada tahun 2006 sekitar 316.991 orang atau sekitar 0,3 %
Tenaga Kerja di Indonesia (BPS 1996-2006) .Industri rokok tidak memberikan
dampak pertumbuhan ekonomi yang signifikan bagi penyerapan tenaga kerja. Sudah
seharusnya pemerintah perlu mempertimbangkan
proses pengkerdilan industri rokok dinegeri ini.
Solusi Permasalahan Rokok
Ketika
berbicara masalah idealnya kita juga memikirkan solusi kongkrit untuk mengatasi
permasalah akut tersebut. Menurut Aris Mardeka
Sirait, ketua Komisi Perlindungan Anak, setidaknya ada empat hal yang harus
dilakukan dalam mengatasi permasalahan rokok di negeri ini
Pertama, kita
perlu menggalakkan program pengendalian rokok di masyarakat. Rokok tidak boleh
dijual secara terbuka di area publik. Bahkan mengkonsumsinya pun harus ditempat
tertutup dan bukan di daerah yang ada anak-anak.
Kedua, melarang semua iklan rokok di masyarakat. Yang
ini harus total. Baik di televisi, dijalanan,
dan sponsor acara musik.
Ketiga, harus
ada undang-undang yang mengatur semua bungkus atau kemasan rokok harus tanpa
merek. Seperti di Australia, semua
kemasan rokok yang dijual polos tidak bergambar, bahkan tidak ada secuil
tulisan merek sekalipun. Kalaupun ada harus didominasi oleh 70% gambar yang
menceritakan kerusakan akibat rokok.
Keempat, kita menaikkan harga cukai rokok. Termasuk
juga melarang menjual rokok satuan. Di Amerika harga rokok berkisar 200 ribu
per bungkus dan penjualan rokok disembunyikan.
Tawaran
solusi datas tidak akan bisa terlaksana dengan efektif jika tidak ada dukungan
yang kongkrit dari penguasa. Untuk para pemimpin pemegang tampuk kekuasaan tidakkah
anda peduli pada rakyat yang memberimu mandat untuk memimpin mereka? Stop dan musnahkanlah perizinan para cukong
kaya penghisap kekayaan dari hisapan rokok para keluarga miskin. Tak ada solusi
lebih kongkrit. Lebih populer dan lebih berhasil untuk mengatasi musibah rokok
kecuali dengan mengkerdilkan perizinan perusahaan-perusahaan rokok dinegeri
ini. Mari hentikan masalah akut ini hingga keakar-akarnya.
Jika tak ada kepedulian, maka takkan ada penyelesaian masalah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jika tulisan ini bermanfaat tolong dikomentari yach.....