Funtea Kpk
Mendaki gunung
lewati lembah...
Sungai mengalir
indah, ke samudra...
Bersama teman
bertualang...
Tempat yang baru
belum pernah terjamah...
Suasana yang ramai
di tengah kota...
Slalu waspadalah
kalau berjalan...
. . .
(soundtrack Doraemon
Indonesia)
. . .
Banyak
orang Indonesia hanya pergi ke kota-kota
yang sama
Libur ke Singapur, atau ke Malaysia, weekend ke
Bandung, pulang ke
Jakarta
Hanya tau tentang Indonesia dari berita tivi
dan koran saja
Bukalah kopermu isi dengan baju, banyak
destinasi yang bisa dituju
Pernahkah kau dan seorang kawan ngopi kotang susu jahe di Blandongan
atau di Medan ke nelayan nikmati seporsi pancake durian
Sempatkan untuk meluncur ke Padang makan sate padang Mak Syukur
Atau di Malang duduk dengan tenang dengan secangkir hangat Wedhang Secang
Apabila kau ragu untuk menjelajahi negrimu
Perjalanan pesawat hanya setidurmu
Kecuali papua hanya setidurmu
Siapa lagi kalau bukan kamu
Yang jadi duta untuk bangsamu
Negeri yang kaya kamu pun tahu
Sekarang giliran dunia yang tahu...
.
. .
(Lagu
Melayu by Panji Pragiwaksono)
Lagu diatas adalah dua
diantara banyak lagu yang menjadi soundtrack
perjalanan saya selama pulkam kali ini. Berjalan lebih jauh menyusuri tempat-tempat
yang selama ini hanya terdengar namanya di telinga. Tanpa pernah tergambar
keadaan yang sesungguhnya dari daerah-daerah itu.
Bertahun-tahun menempati suatu
tempat, memang membuat kita kurang peka terhadap lingkungan. Rutinitas membuat
kita kurang peka, begitu kata Pak Thamrin, saat menutup kegiatan HQT mahasiswa
MIPA angkatan 2010, di Paskhas, yang saat itu beliau baru saja terpilih menjadi
Rektor Untan.
Sesungguhnya perjalanan yang
saya tempuh tidak terlalu jauh. Hanya bermaksud mengunjungi teman-teman lama
dan beberapa misi lain. Namun saya sungguh sangat kelelahan menempuh perjalanan
yang amat singkat itu. Why??? You know, jalan rusak total! Padahal, itu adalah
jalan penghubung antar kecamatan. Akibatnya, tangan saya pegal-pegal karena
harus ekstra kerja keras mengendalikan motor. Seorang teman yang menemani saya
harus sakit perut, akibat motor yang selalu mewati banyak lobang, batu-batu
besar, tanah licin. Mengendarai motor seperti menunggang kuda, karena harus
melompat-lompat.
Hal yang menyenangkan adalah
alam yang masih asri. Jejeran pohon karet seperti menyapa orang-orang yang
pertama kali melewati jalan-jalan itu. Tanah di ladang-ladang masyarakat sedang
ditutupi oleh daun-daun karet yang berguguran.
Bagaimana pendidikan di daerah
pelosok itu? Jangan heran jika mereka hanya bisa membaca dan berhitung. Di
belahan dunia lain telah menggunakan alat pemindai retina untuk memasuki
ruangan rahasia, namun mereka masih berkutat pada kebiasaan-kebiasaan lama.
Sekolah SD atau SMP, lalu menikah, selanjutnya noreh (menggoreskan sebuah pisau khusus pada pohon karet untuk
menghasilkan getahnya). Sepertinya, mempelajari ilmu pengetahuan akan terhenti
setelah perpisahan sekolah. Tidak heran mereka kembali akan terjebak pada
rutinitas yang sudah turun temurun. Segelintir orang ada yang memutuskan untuk
berdagang. Bagaimana dengan orang-orang yang memiliki kesempatan berpendidikan
tinggi? Ya, sebagian besar mereka cenderung akan menjadi orang yang
berorientasi pada pekerjaan yang berpenghasilan besar. Bagaimana dengan daerah
yang masih terbelakang? Biar saja para orang tua atau pemerintah yang
memikirkannya!
Diberikan kesempatan ngobrol dengan beberapa orang, saya
mendapat sebuah pelajaran baru. Sebagian besar dari mereka adalah petani karet,
yang harus noreh setiap hari. Mereka
mengeluhkan harga getah yang semakin hari semakin turun. Dulu mereka pernah
berjaya karena harga getah karet mencapai Rp 25.000,- per kilo. And now, hanya
Rp 5.000,- per kilo. Ini adalah fenomena Butterfly
Effect (please read Living Islam, page
72)! Perekonomian negara biang kapitalis (Amerika) yang sedang menukik
ke jurang yang curam, berakibat pada kehidupan masyarakat di pelosok daerah
ini. Harga getah karet yang semakin turun, menuntut mereka untuk berjuang lebih
dari sebelumnya. Tidak sedikit yang akhirnya terjebak pada jaring-jaring
ribawi.
Namun ada hal yang unik di
daerah-daerah pelosok itu, yang membuat saya geleng-geleng kepala. Yaitu
banner-banner calon gubernur dan fashion.
Sungguh, dua hal itu tidak pernah absen terup-date
di daerah-daerah pelosok itu. banner-banner calon gubernur pengumbar janji itu
sama persis dengan banner yang ada di kota-kota. Persis. Bahkan warna
banner-banner itu masih kinclong,
pertanda masih baru. Fashion, juga akan selalu up-date. Ironis!
Apa kaitannya dengan judul
tulisan ya???
Tentu ada, kawan! Pemilukada
DKI yang sedang gencar-gencarnya beberapa waktu terakhir, juga menyita
perhatian publik. Siapa yang tidak tahu kabar pemilikada DKI? Karena semua
stasiun televisi menyuguhkan berbagai macam berita seputar pemilukada DKI.
Ibukota negara yang masalahnya sudah berbeda dengan pelosok-pelosok daerah.
Masalah ibukota sudah beralih pada kemacetan, banjir, sampah, dan lain-lain.
Sementara daerha-daerah pelosok, masih berkutat dengan masalah jalan yang rusak
total. Entah kapan kita bisa mengendarai motor dari kota Sintang ke Nanga Mau dengan
mulusnya seperti jalan-jalan di Jakarta? Entahlah. Saya pun tidak tahu
jawabannya.
Pemilukada Jakarta bahkan
telah menggunakan sarana Quick Count yang
disiarkan secara langsung di berbagai stasiun televisi. Kita lupa,
investor-investor asing semakin banyak yang masuk ke negeri bertanah subur ini.
Mencengkram sumber daya yang alam. Menancapkan taring-taringnya dengan tajam.
Ketimpangan yang terjadi
sangat terasa. Indonesia bukanlah Jakarta, Bali, Palembang, Makasar, Medan,
Bandung dan Jogja saja. Tanah-tanah pelosok itu juga masuk dalam wilayah
Indonesia. Maka tidak mengherankan, SDM di pelosok-pelosok Indonesia itu kurang
berkompeten. Bahkan tidak sedikit SDM yang ada lebih memilih mengadu nasib di
negera tetangga.
Ironis memang. Membicarakan
kondisi di daerah-daerah yang masih terbelakang, selalu ada kritikan di
dalamnya. Tidak habis-habisnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jika tulisan ini bermanfaat tolong dikomentari yach.....