Ariyanti Ammara Kpk
Siang itu aku pergi dengan terburu-buru. Setengah
berlari aku keluar dari rumah sambil menenteng beberapa buku. Bruukk.. Aduh.
Buku-bukuku berserakan. Cepat ku ambil. Astaghfirullah..
Aku lupa bawa lembar
tugas dari Bu Nasywa. Cepat aku berpaling dan berlari menuju kamar. Aduhh
dimana si?? Ku bongkar semua tumpukan buku-buku di meja belajarku. Gak ada.
Masya Allah.
Kulirik jam taganku. 13.50. itu artinya guru biologi yang terkenal
killer itu akan masuk ke kelasku sepuluh menit lagi dan menanyakan tugas yang
minggu kemaren ia berikan. Ya allah.. aku gak mau di hukum untuk yang kesekian
kalinya hanya gara-gara lagi-lagi keteledoranku. Tugas itu adalah tugas
meringkas materi yang kami dapat di sekolah dan akan dipresentasikan hari ini,
pada saat jam les berlangsung. Memang sudah beberapa bulan terakhir ini kami
harus mengikuti jam pelajaran tambahan tiap pulang sekolah. Maklum saja, tak
kurang dari satu bulan lagi kami akan menjalani Ujian Akhir Nasional. Ya. Aku
sudak kelas 3 SMA. Itu artinya tidak lama lagi aku akan memasuki dunia
perkuliahan. Aku tidak akan menyia-nyiakan waktu yang tinggal beberapa bulan
ini untuk mempersiapkan diri sebaik mungkin. Supaya aku bisa lules tes
nantinya. Tentu saja di fakultas yang aku idam-idamkan. Tapi dimana si tugasku????
“Kamu cari ini, Fa?” sebuah suara tiba-tiba
mengejutkan ku.
Segera ku balik badanku. Seorang gadis berwajah ayu
berdiri tepat di pintu kamarku. Wajah khas jawanya semakin manis dengan balutan
jilbab putihnya. Namanya Caca. Dia teman sekelasku yang memang tinggal di
rumahku sejak SD. Sejak ia pindah dan tinggal di rumahku itulah, kami mulai
berteman. Hari-hari selalu kami habiskan bersama. Mandi, sarapan, berangkat
sekolah, mengerjakan PR, belajar, berenang, bermain boneka sampai pekerjaan
membantu di dapur juga kami lakukan bersama. Kami sering membantu Bi Sumi
memncuci piring, meskipun cucian itu nantinya Bi Sumi cuci lagi karena belum
bersih. Tapi kami senang bisa melakukannya. Bi Sumi juga tidak keberatan.
Baginya itu mennjadi pelajaran buat kami. Bi Sumi adalah orang yang telah
mengabdi di keuarga ku semenjak aku kecil. Jadi aku sudah menganggap ia seperti
keluargaku sendiri. Apalagi semenjak ibuku meninggal lima tahun yang lalu.
Beliaulah yang memberikan kasih sayang yang tulus padaku, juga pada Caca,
keponakannya. Ya. Caca adalah keponakan Bi Sumi. Orang tua Caca tinggak di
kampung. Mereka tidak mempunyai biaya untuk menyekolahkan Caca, sehingga Caca
ikut dengan Bi Sumi dan disekolahkan oleh orang tuaku. Itupun karena bujukan
dari orang tuaku.
“Aku menemukannya di ruang tengah waktu aku
beres-beres ruangan tadi pagi.” Lanjutnya seperti tahu apa yang ada dalam
pikiranku.
“Makasi.” Kata ku singkat sambil menyabet kertas itu
dari tangannya dan berlalu begitu saja.
Aku segera menstarter matic-ku dan melaju ke sekolah. Aku benar-benar tidak ingin
terlambat. Tapi kenapa Caca tidak les hari ini? Seharusnya ia berangkat lebih
awal karena dia ke sekolah mengendarai sepeda. Memang semenjak satu minggu terakhir ini kami saling menjauh. Hhh.
Lebih tepatnya aku yang menjauh darinya. Jika dulu kami ke sekolah selalu
sama-sama, tapi kini Caca lebih senang menggunakan sepedanya untuk berangkat ke
sekolah. Sepeda yang dulu lebih sering kami gunakan untuk bermain di halaman
rumah kami sekedar menghabiskan waktu luang di sore hari. Mungkin ia merasa
tidak nyaman karena tiap kali harus menerima sikap acuh tak acuhku padanya. Tapi,
biar saja lah dia gak les hari ini.
Toh dia sudah pintar. Pikirku.
*********************
“Kalian ini ada apa? Kok Abi perhatikan belakangan
ini kalian kurang akur? Kalau ada masalah, ya diselesaikan, bukan diam-diaman
seperti itu.” Kata abi saat kami sarapan beberapa hari yang lalu.
“Enggak kok Bi. Kami baik-baik aja. Cuma mau konsen
belajar, jadi dikurangi guraunya.” Sahutku cepat sebelum Caca menceritakan
semuanya. Sekilas ku lirik gadis di sebelahku. Tampak ia setengah menunduk
menikmati nasi gorengnya dan tidak berniat untuk menjawab pertanyaan abi.
Sebenarnya aku sendiri juga bingung apa yang terjadi
dalam diriku. Tiba-tiba aku menganggap Caca adalah musuh yang harus selalu
diwaspadai. Sosok menakutkan yang akan menghancurkan kehidupanku. Sebegitu
bencinya aku pada dia, sampai-sampai aku tega membiarkannya berangkat dan
pulang sekolah naik sepeda. Padahal jarak rumah kami dengan sekolah cukup jauh.
Mencapai 2 Km. belum lagi lalu lintas kota pontianak yang pasti macet jika
jam-jam berangkat dan pulang sekolah. Ditambah kondisi kota kami yang dilalui
garis khatulistiwa, sinar matahari tersorot secara sempurna sehingga membuat
cuaca sangat panas. Sangat melelahkan jika harus mengayuh sepeda dalam kondisi
seperti itu. Hati kecilku berteriak, protes akan sikapku belakangan ini kepada Caca.
Tapi entahlah. Bisikan-bisikan itu muncul lagi. Bisikan untuk memperlakukan Caca
seperti itu. Bisikan yang mengatakan bahwa ia memang pantas mendapatkan
perlakuan seperti itu.
******************
Sore ini hujan lagi. Aku masih menikmati hujan dan
kesendirianku di beranda atas rumahku. Mataku menatap kosong halaman
dihadapanku. Lamunanku melayang menyusuri lorong waktu hingga aku sampai pada
sepuluh tahun yang lalu. Kulihat dua gadis kecil tengah bermandi hujan. Baju
mereka basah kuyup. Mereka bermain sembur-semburan air. Ciprat-cipratan dan sesekali bekerjaran. Menjatuhkan diri mereka
sendiri dan diikuti tawa lepas membahana, menyatu menjadi harmonisasi yang
indah dengan suara hujan.
“Caca, kalau udah besar kamu mau jadi apa?” Tanya
gadis kecil satu kepada gadis kecil satunya sesaat setelah mereka memutuskan
untuk beristrahat di kursi persahabatan mereka karena kelelahan.
“Emmm…. Kalau kamu?”
“Kamu dulu dong
yang jawab. Aku ‘kan tanya kamu duluan.”
Ia menggelengkan kepala.
“Kok gak
tahu. Ummi bilang kita harus punya cita-cita. Cita-cita kamu apa?”
“Aku gak tahu. Kalau kamu apa?”
“Rahasia dong.
Hehe…“ sahutnya sambil berlari dan disusul gadis satunya lagi. Mereka mulai
bekerjaran lagi.
“Tehnya, Fa, diminum.” Suara itu tiba-tiba
membuyarkan lamunanku.
“Sampai kapan si
Fa kamu mau diemin aku kayak gini terus…? Setiap aku tanya apa salahku, kamu diam. Kamu menjauh.
Kamu seolah membenciku. Sekali lagi aku minta ma’af atas segala kebodohanku
selama ini. Jika aku pernah melukai hatimu.” Ucapnya panjang lebar setelah
meletakkan satu gelas teh di meja dan duduk di sampingku, kami hanya dihalangi
satu meja.
Aku diam. Tak berniat mengomentari ucapannya.
“Iffa.. kamu dengar aku, kan..?”
“Entahlah.” Hanya itu kata yang aku ucapkan sebelum
akhirnya berlari ke kamar dan menguncinya. Aku tak mampu membendung kepedihan
di hatiku. Tangisku tumpah di sana. Aku gak
tahu Ca. Aku gak tahu kenapa aku bisa
begitu membencimu. Ahh.. aku sendiri tak yakin ini perasaan benci. Yang aku
rasakan aku masih kagum padamu. Aku masih salut akan ketegaran hatimu. Kesabaranmu
mengahdapi aku yang seperti ini. Aku masih mengakui kamu memang pintar, cantik
dan sholehah. Tapi entah mengapa aku seperti tak ingin mengenalmu lagi. Ahhh..
tapi tidak juga. Sebenarnya hatiku merasakan rindu padamu Ca. Aku rindu
bercanda denganmu. Tapi kenapa ya Allah. Kenapa aku seperti ini???? Dadaku
semakin sesak ketika mataku tertumbuk pada foto kita Ca. Gambar itu terlihat
bahagia. Senyum kita mengembang dan tangisku semakin menjadi sampai aku tak
sadar berapa lama aku menangis.
Tok tok tok.
“Assalamu’alaykum, Iffa.. Bangun yuk.. Udah maghrib.. Sholat yuk.”
“Duluan aja.”
Sahutku dari dalam.
Ya Allah…. Kenapa aku ini???
**************
“Assalamu’alaykum Iffaa.” Sapa seorang cowok padaku
saat bel istirahat belum lama berdering.
“Wa’alaykumussalam.” Deg. Jantungku berdetak semakin
kencang ketika melihat siapa cowok yang menyapaku.
“Iffa, Caca.. kemana ya? Kok gak masuk?”
“Emmm… Ada urusan. Ada pesan?”
“O. Ini. Aku cuma mau ngembalikan bukunya. Aku titipkan ke kamu aja ya. Takut nanti dia mau pake’.
Makasi va sebelumnya.” Ucapnya sambil
menuai senyum sebelum meninggalkanku.
Hufh.. kupandangi punggungnya yang menjauh menuju
perpustakaan. Aku sibuk menenangkan jantungku yang berdetak seperti habis lari
di kejar anjing. Jantungku selalu berdetak lebih cepat setiap kali melihatnya,
apalagi sampai berbincang dengannya. Namanya Bayu. Cowok paling pintar di
kelasku. Cowok paling menarik, menurutku. Hidungnya bagir, bibirnya tipis dan
alisnya hampir menyatu. Kulitnya sawo matang dan badannya atletis. Tak hanya
itu, ia juga termasuk cowok yang paling rajin sholat. Tidak suka membuat
keributan dan terkenal begitu menghargai teman-temannya apalagi gurunya. Bagiku
ia cowok yang perfect. Meskipun tidak semua temanku sepakat denganku. Mereka
lebih mengidolakan Beny. Cowok tajir, cool dan putih itu.
Caca memang tidak masuk sekolah hari ini. Waktu aku
berangkat tadi, aku sarapan sendiri. Ayah sedang ke luar kota. Sedangkan aku
tak melihat caca. Aku pikir mungkin ia sudah sarapan lebih dulu atau mungkin
bangun kesiangan sehingga sekarang masih kemas-kemas di kamarnya. Tapi sampai
bel masuk hingga sekarang ia tak juga muncul di sekolah. Kupandang buku yang
kini ada di tanganku. Bisikan-bisikan itu datang lagi. Terbersit di hatiku
untuk membuang buku itu ke tempat sampah yang ada di depanku. Aku masih tak bergeming
dengan perasaan yang tak menentu. Dan aku memutuskan untuk berlari ke dalam
kelas dan menumpahkannya di sana. Sekali lagi, aku menangis tanpa sebab yang
tak pasti.
**************
Yuhuu..
Hore….
Suasana sekolahku hari ini benar-benar penuh warna. Ada
yang menangis dan berpelukan. Ada yang saling kejar. Ada yang berhambur keluar
sambil berlari-lari kegirangan. Namun ada juga yang langsung sujud syukur di
tempat. Aku juga merasakan bahagia yang sangat. Kulihat dari kejauhan Bayu juga
terlihat bahagia bercanda dengan teman-temannya. Namun aku tidak melihat Caca.
“Selamat kepada Iffa Nurlaila dan Bayu Ramadhan.
Mereka adalah siswa teladan yang berhasil lolos tes masuk di Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Keperawatan Universitas Tanjungpura. Semoga nantinya mereka
menjadi dokter-dokter yang pintar, yang bisa melayani masyrakatan dengan
keahlian dan hatinya. Dan semoga ilmu kalian merupakan ilmu dan di berkahi
Allah SWT.”
Senyumku terkembang. Akhirnya cita-citaku terwujud
juga. Dan Bayu? Ternyata Bayu juga ingin menjadi dokter.
Siang itu juga kami, pada siswa dan juga semua guru
dan staff karyawan seklah melaksanakan syukuran di rumah kepala sekolah. Tapi
di sana pun aku tidak melihat Caca. Padahal tadi pagi aku melihat ia juga
tengah bersiap-siap. Keanehan juga terjadi pada abi. Setelah mengambilkan
amplopku dan amplop Caca, abi buru-buru pulang.
Aku memang bahagia. Namun banayak sekali tanda tanya
di benakku. Seusai acara, aku segera melaju untuk segera pulang. Sesampainya di
rumah, aku mendapati rumahku sepi. Abi gak
ada. Ku langsung menuju kamar dan di sana mataku lagsung tertuju pada
sebuah surat bersampul biru muda di meja belajarku. Segera ku ambil dan kubuka
surat itu.
Teruntuk
saudariku tersayang
Iffa Nurlaila
di
Istana
kebahagiaan
Assalamu’alaykum
Wr. Wb
Iffa, saat kamu
membaca surat ini, aku yakin kamu tengah bahagia memengang surat kelulusan dari
sekolah. Selamat ya. Kamu memang hebat. Aku bahkan yakin kamu lulus dengan
nilai memuaskan bahkan sebelum pengumuman itu ada. Karena kamu memang pantas
mendapatkannya Fa.
Iffa… Melalui
surat ini, aku ingin menyampaikan sekali lagi kata ma’afku untukmu. Aku baru
sadar. Aku memang bersalah. Ma’afkan aku karena telah merenggut kebahagiannmu.
Mungkin tidak seharusnya aku hadir dalam kisah hidupmu. Tapi percayalah Fa, aku
merasa bersyukur mengenalmu dan menjadi saudaramu.
Iffa.. Satu hal
yang aku ingin kamu tahu. Aku sangat menyayangimu sebagai saudaraku Fa. Dan
sampai kapanku, kau akan tetap menjadi sahabat bahkan saudaraku. Terima kasih
untuk semua.
Salam senyum
Yang menyayangimu,
Caca
Air mataku meleleh membaca surat Caca. Tiba-tiba aku
merasakan rindu yang tak terbendung. Bergegas aku berlari mencari Caca. Aku
ingin memeluknya. Aku ingin meminta ma’af padanya. Ku ketuk pintu kamarnya.
“Caca. Ca.”
Tok tok tok
“Assalamu’alaykum..” sahutku sambil terus mengetuk
pintunya. Bekali-kali ketukanku tak ada jawaba. Aku berlari ke dapur. Gak
ada. Ke belakang. Gak ada juga. Ke
teras. Gak ada. Setengah berlari aku
menaiki tangga menuju beranda atas. Tapi nihil. Hanya Bi Sumi yang kupandangi
di bawah sana sedang menyapu.
“Bi Sumi, liat Caca gak?”
“Lo, Caca ‘kan
udah pulang, Non.”
“Pulang???”
“Iya, Caca pulang kampung tadi pagi. Baru saja di
antar sama bapak. Memangnya dia gak
pamit sama Non?”
Aku hanya bisa menggeleng. Seluruh tulangku
tiba-tiba lemas. Aku tak kuat. Aku duduk di kursi dan tak mampu lagi berdiri.
“Non, non baik-baik saja?”
*****************
“Aku udah ma’afin kamu kok Fa. Malah aku yang seharusnya
banyak berterima kasih padamu dan keuargamu karena telah merawat aku dari
kecil. Menyekolahkan aku, membiayai kehidupaku. Sampai aku bisa menyelesaikan
sekolahku. Aku yang selalu merasa bersalah jika melihatmu membenciku. Ma’afin aku ya..” Kata Caca saat aku
berhasil membujuk abi untuk mengantarkan aku ke kampung Caca. Di bawah pohon
rindang ini, aku kembali merasakan persahabatan kami. Aku merasakan kehangatan
itu.
“Aku baru menyadari bahwa yang membuat aku seperti
ini adalah keegoan dan ketakutanku. Aku selalu takut kamu mengalahkan aku, Ca.”
Hhhh… senangnya. Aku bisa melihat senyum manis gadis
berjilbab ini lagi.
“Sudahlah..” katanya sambil merangkul bahuku.
“O iya. Kamu menyembunyikan sesuatu ya dari aku?”
selidik Caca.
“Apaan?”
“Hayo… ngaku
aja deh..”
“Apaan
si..?”
“Itu tu…
Si bayu..”
“Emangnya Bayu kenapa?” jawabku sok ketus.
“Ya, si Bayu
enggak kenapa-kenapa. Selamat ya.
Kalian satu kampus kan?”
“Apaan si caca
ni.”
Kami tertawa.
“Ca, kamu gak mau ngelanjutin kuliah?” Tanyaku serius.
Caca hanya tersenyum.
Sekali lagi aku salut padanya. Ia lebih memilih
tinggal di kampung dan mengajar di SD di kampungnya. dan kini kau tahu,
perasaan “benci” ku dulu kepada Caca sebenarnya adalah perasaan iri dan takut,
iri akan kecerdasan dan kecantikannya. dan itu menjadi ketakutan tersendiri
dalam diriku. Terlebih lagi ketika aku melihat ia dan Bayu semakin akrab waktu
itu. Rasa itu juga rasa cemburu. Namun syukurlah. Semua itu sudah terjawab.
Caca memang tidak pantas mendapat perlakuan seperti itu. Dan aku kini letah
sadar. Caca adalah sahabat yang paling baik.
Sore itu mentari bersinar hangat. Sehangat persahabatan
kami. Semilir angin menjadi saksi bisu kembalinya persahabatn kami. Caca,
engkaulah sahabat sejatiku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jika tulisan ini bermanfaat tolong dikomentari yach.....