-->

SMS Gratis

Selasa, 26 Juni 2012

Caca, Sahabatku

Ariyanti Ammara Kpk

Siang itu aku pergi dengan terburu-buru. Setengah berlari aku keluar dari rumah sambil menenteng beberapa buku. Bruukk.. Aduh. Buku-bukuku berserakan. Cepat ku ambil. Astaghfirullah..
Aku lupa bawa lembar tugas dari Bu Nasywa. Cepat aku berpaling dan berlari menuju kamar. Aduhh dimana si?? Ku bongkar semua tumpukan buku-buku di meja belajarku. Gak ada. Masya Allah. 

Kulirik jam taganku. 13.50. itu artinya guru biologi yang terkenal killer itu akan masuk ke kelasku sepuluh menit lagi dan menanyakan tugas yang minggu kemaren ia berikan. Ya allah.. aku gak mau di hukum untuk yang kesekian kalinya hanya gara-gara lagi-lagi keteledoranku. Tugas itu adalah tugas meringkas materi yang kami dapat di sekolah dan akan dipresentasikan hari ini, pada saat jam les berlangsung. Memang sudah beberapa bulan terakhir ini kami harus mengikuti jam pelajaran tambahan tiap pulang sekolah. Maklum saja, tak kurang dari satu bulan lagi kami akan menjalani Ujian Akhir Nasional. Ya. Aku sudak kelas 3 SMA. Itu artinya tidak lama lagi aku akan memasuki dunia perkuliahan. Aku tidak akan menyia-nyiakan waktu yang tinggal beberapa bulan ini untuk mempersiapkan diri sebaik mungkin. Supaya aku bisa lules tes nantinya. Tentu saja di fakultas yang aku idam-idamkan.  Tapi dimana si tugasku????

“Kamu cari ini, Fa?” sebuah suara tiba-tiba mengejutkan ku.
Segera ku balik badanku. Seorang gadis berwajah ayu berdiri tepat di pintu kamarku. Wajah khas jawanya semakin manis dengan balutan jilbab putihnya. Namanya Caca. Dia teman sekelasku yang memang tinggal di rumahku sejak SD. Sejak ia pindah dan tinggal di rumahku itulah, kami mulai berteman. Hari-hari selalu kami habiskan bersama. Mandi, sarapan, berangkat sekolah, mengerjakan PR, belajar, berenang, bermain boneka sampai pekerjaan membantu di dapur juga kami lakukan bersama. Kami sering membantu Bi Sumi memncuci piring, meskipun cucian itu nantinya Bi Sumi cuci lagi karena belum bersih. Tapi kami senang bisa melakukannya. Bi Sumi juga tidak keberatan. Baginya itu mennjadi pelajaran buat kami. Bi Sumi adalah orang yang telah mengabdi di keuarga ku semenjak aku kecil. Jadi aku sudah menganggap ia seperti keluargaku sendiri. Apalagi semenjak ibuku meninggal lima tahun yang lalu. Beliaulah yang memberikan kasih sayang yang tulus padaku, juga pada Caca, keponakannya. Ya. Caca adalah keponakan Bi Sumi. Orang tua Caca tinggak di kampung. Mereka tidak mempunyai biaya untuk menyekolahkan Caca, sehingga Caca ikut dengan Bi Sumi dan disekolahkan oleh orang tuaku. Itupun karena bujukan dari orang tuaku.

“Aku menemukannya di ruang tengah waktu aku beres-beres ruangan tadi pagi.” Lanjutnya seperti tahu apa yang ada dalam pikiranku.
“Makasi.” Kata ku singkat sambil menyabet kertas itu dari tangannya dan berlalu begitu saja.
Aku segera menstarter matic-ku dan melaju ke sekolah. Aku benar-benar tidak ingin terlambat. Tapi kenapa Caca tidak les hari ini? Seharusnya ia berangkat lebih awal karena dia ke sekolah mengendarai sepeda. Memang semenjak satu  minggu terakhir ini kami saling menjauh. Hhh. Lebih tepatnya aku yang menjauh darinya. Jika dulu kami ke sekolah selalu sama-sama, tapi kini Caca lebih senang menggunakan sepedanya untuk berangkat ke sekolah. Sepeda yang dulu lebih sering kami gunakan untuk bermain di halaman rumah kami sekedar menghabiskan waktu luang di sore hari. Mungkin ia merasa tidak nyaman karena tiap kali harus menerima sikap acuh tak acuhku padanya. Tapi, biar saja lah dia gak les hari ini. Toh dia sudah pintar. Pikirku.

*********************
“Kalian ini ada apa? Kok Abi perhatikan belakangan ini kalian kurang akur? Kalau ada masalah, ya diselesaikan, bukan diam-diaman seperti itu.” Kata abi saat kami sarapan beberapa hari yang lalu.
“Enggak kok Bi. Kami baik-baik aja. Cuma mau konsen belajar, jadi dikurangi guraunya.” Sahutku cepat sebelum Caca menceritakan semuanya. Sekilas ku lirik gadis di sebelahku. Tampak ia setengah menunduk menikmati nasi gorengnya dan tidak berniat untuk menjawab pertanyaan abi.

Sebenarnya aku sendiri juga bingung apa yang terjadi dalam diriku. Tiba-tiba aku menganggap Caca adalah musuh yang harus selalu diwaspadai. Sosok menakutkan yang akan menghancurkan kehidupanku. Sebegitu bencinya aku pada dia, sampai-sampai aku tega membiarkannya berangkat dan pulang sekolah naik sepeda. Padahal jarak rumah kami dengan sekolah cukup jauh. Mencapai 2 Km. belum lagi lalu lintas kota pontianak yang pasti macet jika jam-jam berangkat dan pulang sekolah. Ditambah kondisi kota kami yang dilalui garis khatulistiwa, sinar matahari tersorot secara sempurna sehingga membuat cuaca sangat panas. Sangat melelahkan jika harus mengayuh sepeda dalam kondisi seperti itu. Hati kecilku berteriak, protes akan sikapku belakangan ini kepada Caca. Tapi entahlah. Bisikan-bisikan itu muncul lagi. Bisikan untuk memperlakukan Caca seperti itu. Bisikan yang mengatakan bahwa ia memang pantas mendapatkan perlakuan seperti itu.

******************
Sore ini hujan lagi. Aku masih menikmati hujan dan kesendirianku di beranda atas rumahku. Mataku menatap kosong halaman dihadapanku. Lamunanku melayang menyusuri lorong waktu hingga aku sampai pada sepuluh tahun yang lalu. Kulihat dua gadis kecil tengah bermandi hujan. Baju mereka basah kuyup. Mereka bermain sembur-semburan air. Ciprat-cipratan dan sesekali bekerjaran. Menjatuhkan diri mereka sendiri dan diikuti tawa lepas membahana, menyatu menjadi harmonisasi yang indah dengan suara hujan.
“Caca, kalau udah besar kamu mau jadi apa?” Tanya gadis kecil satu kepada gadis kecil satunya sesaat setelah mereka memutuskan untuk beristrahat di kursi persahabatan mereka karena kelelahan.

“Emmm…. Kalau kamu?”
“Kamu dulu dong yang jawab. Aku ‘kan tanya kamu duluan.”
Ia menggelengkan kepala.
“Kok gak tahu. Ummi bilang kita harus punya cita-cita. Cita-cita kamu apa?”
“Aku gak tahu. Kalau kamu apa?”
“Rahasia dong. Hehe…“ sahutnya sambil berlari dan disusul gadis satunya lagi. Mereka mulai bekerjaran lagi.
“Tehnya, Fa, diminum.” Suara itu tiba-tiba membuyarkan lamunanku.
“Sampai kapan si Fa kamu mau diemin aku kayak gini terus…? Setiap aku tanya apa salahku, kamu diam. Kamu menjauh. Kamu seolah membenciku. Sekali lagi aku minta ma’af atas segala kebodohanku selama ini. Jika aku pernah melukai hatimu.” Ucapnya panjang lebar setelah meletakkan satu gelas teh di meja dan duduk di sampingku, kami hanya dihalangi satu meja.
Aku diam. Tak berniat mengomentari ucapannya.
“Iffa.. kamu dengar aku, kan..?”

“Entahlah.” Hanya itu kata yang aku ucapkan sebelum akhirnya berlari ke kamar dan menguncinya. Aku tak mampu membendung kepedihan di hatiku. Tangisku tumpah di sana. Aku gak tahu Ca. Aku gak tahu kenapa aku bisa begitu membencimu. Ahh.. aku sendiri tak yakin ini perasaan benci. Yang aku rasakan aku masih kagum padamu. Aku masih salut akan ketegaran hatimu. Kesabaranmu mengahdapi aku yang seperti ini. Aku masih mengakui kamu memang pintar, cantik dan sholehah. Tapi entah mengapa aku seperti tak ingin mengenalmu lagi. Ahhh.. tapi tidak juga. Sebenarnya hatiku merasakan rindu padamu Ca. Aku rindu bercanda denganmu. Tapi kenapa ya Allah. Kenapa aku seperti ini???? Dadaku semakin sesak ketika mataku tertumbuk pada foto kita Ca. Gambar itu terlihat bahagia. Senyum kita mengembang dan tangisku semakin menjadi sampai aku tak sadar berapa lama aku menangis.

Tok tok tok.
“Assalamu’alaykum, Iffa.. Bangun yuk.. Udah maghrib.. Sholat yuk.”
Duluan aja.” Sahutku dari dalam.
Ya Allah…. Kenapa aku ini???

**************
“Assalamu’alaykum Iffaa.” Sapa seorang cowok padaku saat bel istirahat belum lama berdering.
“Wa’alaykumussalam.” Deg. Jantungku berdetak semakin kencang ketika melihat siapa cowok yang menyapaku.
“Iffa, Caca.. kemana ya? Kok gak masuk?”
“Emmm… Ada urusan. Ada pesan?”

“O. Ini. Aku cuma mau ngembalikan bukunya. Aku titipkan ke kamu aja ya. Takut nanti dia mau pake’. Makasi va sebelumnya.” Ucapnya sambil menuai senyum sebelum meninggalkanku.
Hufh.. kupandangi punggungnya yang menjauh menuju perpustakaan. Aku sibuk menenangkan jantungku yang berdetak seperti habis lari di kejar anjing. Jantungku selalu berdetak lebih cepat setiap kali melihatnya, apalagi sampai berbincang dengannya. Namanya Bayu. Cowok paling pintar di kelasku. Cowok paling menarik, menurutku. Hidungnya bagir, bibirnya tipis dan alisnya hampir menyatu. Kulitnya sawo matang dan badannya atletis. Tak hanya itu, ia juga termasuk cowok yang paling rajin sholat. Tidak suka membuat keributan dan terkenal begitu menghargai teman-temannya apalagi gurunya. Bagiku ia cowok yang perfect. Meskipun tidak semua temanku sepakat denganku. Mereka lebih mengidolakan Beny. Cowok tajir, cool dan putih itu.

Caca memang tidak masuk sekolah hari ini. Waktu aku berangkat tadi, aku sarapan sendiri. Ayah sedang ke luar kota. Sedangkan aku tak melihat caca. Aku pikir mungkin ia sudah sarapan lebih dulu atau mungkin bangun kesiangan sehingga sekarang masih kemas-kemas di kamarnya. Tapi sampai bel masuk hingga sekarang ia tak juga muncul di sekolah. Kupandang buku yang kini ada di tanganku. Bisikan-bisikan itu datang lagi. Terbersit di hatiku untuk membuang buku itu ke tempat sampah yang ada di depanku. Aku masih tak bergeming dengan perasaan yang tak menentu. Dan aku memutuskan untuk berlari ke dalam kelas dan menumpahkannya di sana. Sekali lagi, aku menangis tanpa sebab yang tak pasti.
**************

Yuhuu..
Hore….
Suasana sekolahku hari ini benar-benar penuh warna. Ada yang menangis dan berpelukan. Ada yang saling kejar. Ada yang berhambur keluar sambil berlari-lari kegirangan. Namun ada juga yang langsung sujud syukur di tempat. Aku juga merasakan bahagia yang sangat. Kulihat dari kejauhan Bayu juga terlihat bahagia bercanda dengan teman-temannya. Namun aku tidak melihat Caca.
“Selamat kepada Iffa Nurlaila dan Bayu Ramadhan. Mereka adalah siswa teladan yang berhasil lolos tes masuk di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Keperawatan Universitas Tanjungpura. Semoga nantinya mereka menjadi dokter-dokter yang pintar, yang bisa melayani masyrakatan dengan keahlian dan hatinya. Dan semoga ilmu kalian merupakan ilmu dan di berkahi Allah SWT.”

Senyumku terkembang. Akhirnya cita-citaku terwujud juga. Dan Bayu? Ternyata Bayu juga ingin menjadi dokter.

Siang itu juga kami, pada siswa dan juga semua guru dan staff karyawan seklah melaksanakan syukuran di rumah kepala sekolah. Tapi di sana pun aku tidak melihat Caca. Padahal tadi pagi aku melihat ia juga tengah bersiap-siap. Keanehan juga terjadi pada abi. Setelah mengambilkan amplopku dan amplop Caca, abi buru-buru pulang.

Aku memang bahagia. Namun banayak sekali tanda tanya di benakku. Seusai acara, aku segera melaju untuk segera pulang. Sesampainya di rumah, aku mendapati rumahku sepi. Abi gak ada. Ku langsung menuju kamar dan di sana mataku lagsung tertuju pada sebuah surat bersampul biru muda di meja belajarku. Segera ku ambil dan kubuka surat itu.

Teruntuk saudariku tersayang
Iffa Nurlaila
di
Istana kebahagiaan
Assalamu’alaykum Wr. Wb
Iffa, saat kamu membaca surat ini, aku yakin kamu tengah bahagia memengang surat kelulusan dari sekolah. Selamat ya. Kamu memang hebat. Aku bahkan yakin kamu lulus dengan nilai memuaskan bahkan sebelum pengumuman itu ada. Karena kamu memang pantas mendapatkannya Fa.
Iffa… Melalui surat ini, aku ingin menyampaikan sekali lagi kata ma’afku untukmu. Aku baru sadar. Aku memang bersalah. Ma’afkan aku karena telah merenggut kebahagiannmu. Mungkin tidak seharusnya aku hadir dalam kisah hidupmu. Tapi percayalah Fa, aku merasa bersyukur mengenalmu dan menjadi saudaramu.

Iffa.. Satu hal yang aku ingin kamu tahu. Aku sangat menyayangimu sebagai saudaraku Fa. Dan sampai kapanku, kau akan tetap menjadi sahabat bahkan saudaraku. Terima kasih untuk semua.

Salam senyum
Yang menyayangimu,

Caca

Air mataku meleleh membaca surat Caca. Tiba-tiba aku merasakan rindu yang tak terbendung. Bergegas aku berlari mencari Caca. Aku ingin memeluknya. Aku ingin meminta ma’af padanya. Ku ketuk pintu kamarnya.

“Caca. Ca.”
Tok tok tok
“Assalamu’alaykum..” sahutku sambil terus mengetuk pintunya. Bekali-kali ketukanku tak ada jawaba.  Aku berlari ke dapur. Gak ada. Ke belakang. Gak ada juga. Ke teras. Gak ada. Setengah berlari aku menaiki tangga menuju beranda atas. Tapi nihil. Hanya Bi Sumi yang kupandangi di bawah sana sedang menyapu.
“Bi Sumi, liat Caca gak?”
Lo, Caca ‘kan udah pulang, Non.”
“Pulang???”
“Iya, Caca pulang kampung tadi pagi. Baru saja di antar sama bapak. Memangnya dia gak pamit sama Non?”
Aku hanya bisa menggeleng. Seluruh tulangku tiba-tiba lemas. Aku tak kuat. Aku duduk di kursi dan tak mampu lagi berdiri.
“Non, non baik-baik saja?”

*****************
“Aku udah ma’afin kamu kok Fa. Malah aku yang seharusnya banyak berterima kasih padamu dan keuargamu karena telah merawat aku dari kecil. Menyekolahkan aku, membiayai kehidupaku. Sampai aku bisa menyelesaikan sekolahku. Aku yang selalu merasa bersalah jika melihatmu membenciku. Ma’afin aku ya..” Kata Caca saat aku berhasil membujuk abi untuk mengantarkan aku ke kampung Caca. Di bawah pohon rindang ini, aku kembali merasakan persahabatan kami. Aku merasakan kehangatan itu.

“Aku baru menyadari bahwa yang membuat aku seperti ini adalah keegoan dan ketakutanku. Aku selalu takut kamu mengalahkan aku, Ca.”
Hhhh… senangnya. Aku bisa melihat senyum manis gadis berjilbab ini lagi.
“Sudahlah..” katanya sambil merangkul bahuku.

“O iya. Kamu menyembunyikan sesuatu ya dari aku?” selidik Caca.
Apaan?”
“Hayo… ngaku aja deh..”
Apaan si..?”
“Itu tu… Si bayu..”
“Emangnya Bayu kenapa?” jawabku sok ketus.
“Ya, si Bayu enggak kenapa-kenapa. Selamat ya. Kalian satu kampus kan?”
Apaan si caca ni.”
Kami tertawa.

Ca, kamu gak mau ngelanjutin kuliah?” Tanyaku serius.
Caca hanya tersenyum.

Sekali lagi aku salut padanya. Ia lebih memilih tinggal di kampung dan mengajar di SD di kampungnya. dan kini kau tahu, perasaan “benci” ku dulu kepada Caca sebenarnya adalah perasaan iri dan takut, iri akan kecerdasan dan kecantikannya. dan itu menjadi ketakutan tersendiri dalam diriku. Terlebih lagi ketika aku melihat ia dan Bayu semakin akrab waktu itu. Rasa itu juga rasa cemburu. Namun syukurlah. Semua itu sudah terjawab. Caca memang tidak pantas mendapat perlakuan seperti itu. Dan aku kini letah sadar. Caca adalah sahabat yang paling baik.

Sore itu mentari bersinar hangat. Sehangat persahabatan kami. Semilir angin menjadi saksi bisu kembalinya persahabatn kami. Caca, engkaulah sahabat sejatiku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jika tulisan ini bermanfaat tolong dikomentari yach.....