Ariyanti Ammara KPK
Pagi
itu kubuka jendela kamar. Seperti biasa kusempatkan diri walau sejenak untuk
menghirup udara pagi yang segar. Tanpa sengaja mataku tertumbuk pada 2 hewan
putih itu. Angsa. Dua hewan itu sudah menjadi bagian dalam kehidupan keluargaku
sejak aku duduk di kelas 6 SD.
Hampir 11 tahun. Kini, usia mereka sudah berapa
tahun, aku tak tau. Yang pasti si angsa betina terlihat sudah sangat renta.
Badannya sudah tinggal tulang dibalut bulu. Warnanya sudah tak lagi putih
bersih, tapi kekuningan. Bahkan, kaki kirinya sudah tak lagi berfungsi.
Pincang. Entah karena apa. Ibuku pun tak tau kenapa kakinya bisa pincang.
Sedangkan angsa yang jantan, masih terlihat gagah. Badannya tegap. Putih. Dan
pasti, masih kuat jika hanya mencubit kakimu dengan paruhnya. Hehe..
Kulihat
sepasang angsa itu masih terlena dengan tidurnya. Biasanya, jam segini mereka
sudah berngoek-ngoek ria minta jatah
sarapan. Kuperhatikan mereka. Si betina terlihat masih pulas, sedangkan si
jantan sudah membuka matanya namun masih belum menegakkan kakinya. Sesekali ia mengoek, mungkin perlahan-lahan ia ingin
membangunkan sang betina. Tapi nihil. Ia pun memejamkan mata dan merebahkan
lehernya lagi. Selang beberapa detik kemudian, ia terbangun lagi dan melakukan
hal yang sama seperti tadi. Namun masih juga nihil. Si betina juga belum
bangun. Perlahan si jantan menyentuh badan si betina dengan paruhnya dan
mengeluarkan suara lebih keras lagi. Si betina bergeming. Setelah beberapa
lama, barulah aku sadar. Jatah hidup si angsa betina sudah habis. Ia harus
memejamkan matanya untuk selamanya dan meninggalkan si angsa jantan sehewan
diri. Si angsa jantan pun kurasa mengerti, bahwa isterinya tak lagi ada.
Istrinya sudah meninggal. Maka aku merasakan nuansa kesedihan di wajah si
jantan. Aura kesedihan itu kuat memancar dari matanya. Bahkan sampai
berhari-hari, ia seperti belum bisa menerima kematian istrinya. Hampir setiap
saat ia mengoek keras-keras. Seperti
memanggil-manggil istrinya. Namun setelah beberapa lama mengoek dan tak juga ada jawaban, ia kembali dalam keterpurukan.
Butuh waktu satu minggu lebih baginya untuk menyadari bahwa sang istri sudah
tak ada lagi. Dan tiap kali menyadari itu, rona kesedihan begitu saja terpancar
dari wajahnya.
Cinta.
Jika
kita bertanya, kenapa hewan bisa seperti itu? Cintalah jawabnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jika tulisan ini bermanfaat tolong dikomentari yach.....