Kana Effendi
Hujan. Mungkin
sebagian orang akan menyikapinya dengan (dalam bahasa halusnya) “mengeluh”.
Sebagian lagi memilih untuk bermalas-malasan. Namun, lain halnya dengan
seseorang yang kukenal. Gerak-geriknya yang sangat kuhapal, pasti ia akan duduk
disamping jendela kamarnya, membiarkan matanya menatap kearah luar jendela,
menatap pasukan barisan hujan, seakan nggak mau ketinggalan sebutir pun
rintik-rintiknya. Ia selalu menatap hujan dengan penghayatan mendalam, penuh
arti. Seolah rintik-rintik hujan itu adalah jejeran huruf yang bertransformasi
menjadi kalimat dan mengajaknya bicara. Selalu ia tersenyum, kemudian
memejamkan matanya cukup lama.
Seperti sore ini,
hujan turun lumayan lebat. Ia duduk disamping jendela, setelah sebelumnya
mengangkat jemuran pakaian dibelakang rumah. Maka udah menjadi kebiasaanku,
akupun akan mengintip melalui celah pintu yang kubuka sedikit, hanya untuk
memenuhi rasa penasaranku ‘’apakah ia akan bercengkrama dengan hujan lagi?”
Dulu saat aku kecil,
saat masih belum mengerti dengan kebiasaannya, ketika aku mulai ribut
disampingnya, merengek bosan karena bagiku saat itu hujan yang dilihat olehnya
sama sekali nggak asyik, ia hanya akan mendekapku dan berucap persis desisan
“sssttt!!!”. Setelah itu, ia akan diam lagi tanpa sedikitpun memarahiku yang
tega mengganggu ketenangannya. Anehnya, diamnya itu seperti sebuah kebahagiaan
terpendam.
Barulah satu tahun
lalu, dihari ulang tahunku yang ke-16, ia mengisahkan alasan kebiasannya.
Ceritanya begitu panjang, mirip dongeng namun dalam versi dongeng kehidupan
nyata.
Kututup pintu
kamarnya. Ya… biarlah ia asyik dengan kebiasannya. Aku hanya berharap bahwa
hari itu cepatlah datang, agar ia nggak lagi duduk diam, lalu tersenyum dan
seperti seseorang yang selalu merindukan hujan. Karena sebenarnya, yang ia
tunggu bukanlah itu.
Seseorang yang
menyukai hujan ini adalah ibuku, teman. Jadi tolong jangan menganggapnya aneh.
Jujur aja, kalaulah aku yang berada pada posisi ibu, mungkin aku nggak akan
menjadi lebih tegar dari ibu. Kalau ingin berkomentar, tunggu setelah kalian
selesai membaca ceritaku.
*
* *
Kumulai bagian ini
dengan cerita ibu tentang “kenapa ibu begitu kelihatan bahagia saat hujan tiba”.
Ini adalah hasil penuturan ibu yang berhasil kurekam dalam memori ingatanku.
Pertemuan dua puluh
tahun lalu, itu artinya tiga tahun sebelum aku terlahir ke dunia, ibuku
terlibat dalam acara perjodohan yang diprakarsai oleh kakek dan nenekku. Saat
itu ibu terbilang masih muda, usianya belum genap 21 tahun. Ibu adalah tipe
anak perempuan yang penurut dan sedikit pendiam (informasi ini hasil
investigasiku dengan kakek dan nenek). Laki-laki yang dijodohkan adalah bakal
calon ayahku. Karena yang namanya dijodohkan nggak serta merta langsung timbul chemistry diantara yang dijodohkan. Yang
dilihat ibu dari orang yang dijodohkan dengannya saat itu hanyalah pemuda
dingin yang nggak banyak bicara. Bahkan wajah penolakan pemuda itu dengan
perjodohan saat itu tergambar jelas diwajahnya.
Ibu hanya menghabiskan
tiap detik acara pertemuan pertama itu dengan menundukkan kepala. Pada
perjumpaan itu, ibu dan ayah sama sekali nggak saling ngobrol, bahkan untuk
menyebutkan nama masing-masing pun nggak. Mereka baru kenal dan bertemu saat
itu.
Ibu pikir setelah
pertemuan pertama malam itu, nggak akan ada lagi pertemuan selanjutnya. Namun disaat
yang nggak terduga dan dalam ketidaksengajaan, ibu melihat ayah yang sedang
memberikan sebungkus makanan dan jajanan ringan pada seorang anak kecil
jalanan, ayah terlihat asyik bercengkrama dengan anak itu. Entah kenapa ibu
yang melihat peristiwa itu, membuat hatinya menyimpan kesan mendalam pada ayah,
hatinya tersentuh oleh kebaikan ayah.
Lalu saat ibu tengah
tertegun dengan apa yang dilihatnya, tiba-tiba aja hujan yang tanpa permisi
mengguyur lebat dan berhasil membuat ibu gelagapan mencari tempat berteduh.
Belum sempat menyingkirkan rasa terkejutnya pada hujan yang datang tiba-tiba,
seseorang berdiri disamping ibu dengan membawakan payung. Seseorang itu adalah
ayah. Tanpa berbasa-basi ayah menyodorkan payung itu pada ibu. Saat payung itu
sudah melindungi ibu dari serbuan hujan, kemudian tanpa mengucapkan satu patah
katapun ayah langsung begitu aja pergi, meninggalkan ibu yang terus
memperhatikan langkah kaki ayah yang berlari sampai nggak terlihat. Semenjak saat
itu, terbersit keinginan dalam hati ibu bahwa perjodohan itu bisa berlanjut
pada jenjang yang serius.
Untuk bagian ini, aku
pun nggak ngerti kenapa ibu cepat jatuh hati pada ayah? Karena menurutku
kebaikan yang dilihat hari itu belum bisa mewakilkan kebaikan-kebaikan lainnya.
Kata ibu “terkadang kita nggak bisa menghalau datangnya cinta, bahkan ketika
hati kita ingin menolak kehadirannya, malahan rasa cinta itu semakin tumbuh.
Karena kita nggak pernah tahu kapan cinta itu akan datang.”
Dan dimulai dari hari
itu, benih cinta mulai tumbuh dihati ibu. Namun ibu mempersiapkan diri untuk
rasa cintanya itu. Ibu nggak mau menjadi egois karena cintanya pada ayah.
Menjadi lupa pada cinta yang semestinya. Maka ibu mulai untuk menerima bahwa
jodoh sudah ada yang mengaturnya.
Singkat cerita,
pernikahan ayah dan ibu pun terjadi. Orang yang ibu cintai kini telah menjadi
halal. Namun, bagian tersulit yang mesti dijalani ibu pun telah dimulai.
Ayah memang menikahi
ibu, tapi bukan dengan cintanya. Bahkan terang-terangan bilang pada ibu bahwa
ayah sebenarnya mencintai perempuan lain. Dan itu ayah lakukan dihari pertama
mereka resmi menjadi pasangan suami-istri. Apa yang dirasakan oleh ibu saat
itu? saat mendengarnya aja hatiku merasa sakit, kupingku panas, alih-alih
timbul rasa benci pada ayah. Namun saat ibu menceritakan ini, ibu malahan tersenyum,
akupun jadi bingung dibuatnya.
Memasuki tahun ke-2
pernikahan, saat ibu dan ayah sedang bersantap makanan, dan malam itu ibu spesial
memasak makanan kesukaan ayah; asam pedas, sambal belacan dengan berlaukkan
tahu goreng, tiba-tiba dikejutkan oleh suara gedoran pintu dari arah ruang
tamu. Sikap ayah malam itu sedikit berbeda dengan ibu. Sedikit lebih hangat.
Menurut ibu kejadian di malam itu berlalu begitu cepat, yang ibu sadari
kemudian bahwa ayah telah digiring oleh beberapa orang menuju kantor polisi.
Saat kejadian itu, untuk pertama kalinya ayah menyunggingkan senyumnya pada ibu
seolah ingin menenangkan ibu yang saat itu benar-benar bingung, terkejut.
Kemudian sampailah di
telinga ibu perihal penyebab kenapa ayah harus masuk sel tahanan. Dan untuk
yang satu ini, ibu nggak menceritakannya padaku. Ibu nggak mau membuatku
membenci ayah kandungnya. Ya… kadang-kadang rasa benci pada ayah begitu aja
muncul. Karena ayah, ibu kesepian dan harus berjuang sendirian membesarkanku,
bahkan nggak pelak kesedihan-kesedihan itu ibu pendam sendirian. Karena ayah,
aku seperti anak laki-laki yang terlahir tanpa ayah.
Tapi ibu terus
meyakinkanku, meredam kebencianku bahwa ayah berhak untuk dimaafkan. Setiap
orang pernah melakukan kesalahan dan kita harus memberikan kesempatan pada
orang itu untuk berubah dan memberikannya maaf terlepas dari seberapa besar
kesalahan yang dilakukannya. Allah saja Maha Pengampun, kenapa kita sebagai
hambanya nggak bisa berbesar hati menerima kesalahan orang lain? Itu yang
dikatakan ibu setiap aku mulai menampakkan ketidaksenanganku pada ayah.
Ibu sama sekali nggak
memperlihatkan kebencian atau kekecewaannya pada ayah. Yang terlihat diwajah
ibu adalah wajah ketulusan mencintai dan aku seperti udah terhipnotis oleh
ketulusan hati ibu.
Ayah dan ibu hampir
bercerai, kalau saja ibu nggak menolaknya dengan tegas. Ibu ingin
mempertahankan pernikahannya. Ibu akan menunggu ayah, walau itu berarti ibu
harus menjalani 17 tahun hidup tanpa ayah disampingnya. Mendengar jawaban ibu
yang seperti itu, ayah menitikkan air mata untuk pertama kalinya dihadapan ibu.
Saat mendengar ibu
tengah mengandung, ayah meminta ibu untuk berjanji nggak akan pernah membawa
anaknya pergi mengunjungi rumah kecil bertitelkan sel tahanan ini. Ayah nggak
ingin melihat anaknya saat berstatus tahanan. Ayah merasa malu dan bingung
harus menjelaskan apa pada anaknya nanti. Awalnya ibu menolak, namun pada
akhirnya untuk permintaan ayah yang satu ini, ibu nggak bisa untuk nggak
mengalah. Ya… kemudian aku pun nggak pernah melihat ayah secara langsung sampai
detik ini. Mengenal ayah lewat cerita-cerita ibu tanpa sedikitpun menyinggung
penyebab ayah dipenjara dan melihat wajah ayah lewat poto-poto pernikahan
mereka.
*
* *
Ibu kelihatan tenang.
kalau boleh menerka, dibalik wajah tenang itu sebenarnya ibu sedang dipenuhi
rasa dag dig dug. Gimana nggak?!!
Hari ini adalah salah satu hari yang paling
dinantikan ibu. 17 tahun sudah ibu melewati hari dengan sabar untuk
sampai pada hari ini.
Ibu melangkahkan
kaki, lamban namun pasti dengan sesekali mengusapkan tangan kanannya ke dada.
Menenangkan perasaannya, sepertinya. Ibu sama sekali nggak tergoda untuk mengajakku
bicara. Akupun menjadi asyik melihat lakon ibu yang agak sedikit nerves.
Sesampainya di pintu
gerbang, kami sama-sama menghentikan langkah kaki. Menunggu ayah dari luar
pintu gerbang yang menjulang tinggi. Sampai pada menit ke-20 tanda-tanda kemunculan
ayah mulai terlihat. Seperti inilah gambaran persisnya. Mula-mula kaki kanan
berpantofel hitam keluar dari arah pintu gerbang. Disusul dengan kaki kirinya.
Berdiri tegap disana, lima meter dari arah kami, laki-laki berkemeja putih
bergaris vertikal dengan celana panjang berwarna hitam, dengan tas selempang
mengalungi badannya. Jreenngg… diakah
ayah?
Ia menghampiri kami.
Mengucapkan salam dan kami membalasnya. Menatap ibu dan aku bergiliran.
Langsung memelukku meski agak canggung. Erat. Sangat erat. Beginikah rasanya
dipeluk oleh seorang ayah?
“Maaf… maafkan ayah,
nak.” Ujarnya kemudian.
Jujur, aku juga
bingung harus melakukan apa. Tanganku begitu saja menepuk-nepuk punggung ayah.
Ada perasaan ingin menenangkan ayah.
Ibu yang berdiri
disampingku, sudah menitikkan air mata.
Ayah melepaskan
pelukannya. Mengamatiku dengan seksama sembari tersenyum. “Lihatlah, kamu sudah
besar dan jauh lebih tinggi dari yang ayah bayangkan. Ayah sudah melewatkan
masa paling berharga saat-saat membesarkanmu.”
Aku menyunggingkan
senyum simpul. “Tapi, ada seseorang yang sangat menantikan ayah melebihi
siapapun,” aku memalingkan wajah pada ibu. Ayah bukan sengaja melupakan
kehadiran ibu, hanya saja sepertinya ayah bingung harus bersikap bagaimana pada
ibu.
“Apakah kamu tidak
membenci ayah?”
Aku menggeleng.
“Wanita yang ayah nikahi, yang juga ibu arif, nggak pernah membesarkan arif
untuk sedikitpun membenci ayah.”
Ayah lalu memeluk
ibu. Ibu menangis dipelukan ayah. “Maaf… maaf,” Kata-kata itu yang keluar dari mulut
ayah. Walaupun nggak terlihat jelas, aku bisa memastikan bahwa ayah juga
menangis.
Aku benar-benar
bahagia saat ini. Selama 17 tahun aku belum pernah melihat ibu menangis. Baru
hari ini aku melihat ibu seperti ini. Perasaan sedihnya yang mungkin selama ini
ibu pendam terluapkan, ketika melihat suami yang dicintainya kembali dalam
pelukannya. Mungkin saja tangisan ibu hari ini adalah tangisan bahagia.
Kesalahan ayah mungkin mengecewakan ibu di saat itu, namun karena cinta ibu
yang tulus, bahkan akupun nggak diberikan kesempatan untuk membenci ayah.
Wajahnya selalu tersenyum saat bercerita tentang ayah. Ketika kita tulus
mencintai, maka akan tumbuh rasa untuk percaya, menerima, melindungi, dan
menghargai.
Ya… aku akan mencoba
melupakan untuk menanyakan alasan sebenarnya ayah ditahan. Kalaupun suatu saat
nanti aku mendengar kebenaran masa lalu ayah yang pahit itu, akan kubuang
bersama masa sulit ayah itu. Karena ada satu hal yang nggak akan bisa kuhapus,
yaitu kenyataan bahwa ia adalah ayah kandungku, orang yang dicintai ibu. Aku
yakin ayah telah menyadari kesalahannya.
Pertemuan hari ini
pasti menjadi saat yang juga sangat dinantikan ayah. Aku memang belum
sepenuhnya memahami ayah. Tapi aku akan berusaha untuk mengganti saat-saat
bahagia kami yang hilang. Dan semoga masa lalu pahit yang pernah kami lewati
menjadikan kami keluarga yang kuat dan selalu ingat pada Sang Pencipta, dan
nggak terjebak kesalahan yang sama.
*
* *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jika tulisan ini bermanfaat tolong dikomentari yach.....