-->

SMS Gratis

Jumat, 23 Desember 2011

Syair Sendu Lagu Melayu

Sumber : Pontianak Post/A.Halim R

KETUK berjalan tak tentu tuju, meniti padang penuh berdebu, terdengar olehnya sebuah seru, “Tingkah kau sudah macam Melayu”. Ketuk tercekat serta termangu, adakah kata untuknya tertuju, memang ada apa dengan Melayu, sampai orang cakap begitu. Ketuk terhuyung berjalan balik, ingin bersadu kepada sahabat baik, kalimat hendak dibahas apik, bersama Mat Belatong yang tak pula cerdik. Bertanya kepada kelik selubang, bukanlah hal yang menjadi pantang, bukankah hadir Yang Tak Berbilang, Allah hadir witir terpandang.

Tatkala sampai di rumah sahabatnya, Ketuk terjelepok di bendul pintunya, haus dan letih tidak terkira, pening dan lapar lebih dari puasa. Mat Belatong terbelalak penuh tanya, memandang sahabat begitu rupa, rupa pemulung iya pula, rupa pengemis juga ada. Ketuk tertelungkup mata tertutup, diseret Mat Belatong terhayap-huyup, macam tak bernapas tapi jantung berdegup, pertanda ia masih hidup. Mulutnya dituang air diceret, Ketuk tersedak terhinjet-hinjet, basah bajunya macam mandi di paret, tapi matanya mulai berkedep.


Pengembara disandarkan di kursi tua, disuguhkan segala apa yang ada, jus avokad lopes parut kelapa, Ketuk melahap bak tapah menganga. Setelah segar pertanyaan diajukan, apakah Ketuk salah makan, apakah terkena penyakit ayan, atau mabok arak Capcuan. Ketuk terdiam mata berkunang, air mata jatuh berlinang, mengenang nasib diri yang malang, kini Melayu-nya pula disindir orang.

Kemudian Ketuk mulai bercerita, mendengar seru di padang kembara, apa pasal begitu terjadinya, memangnya Melayu itu mengapa. Mendengar cerita Mat Belatong tertawa, terpingkal-pingkal berair mata, itu kiranya pasal yang ada, sehingga Ketuk macam orang gila. Setelah tertawa Mat Belatong berkata, wahai Ketuk yang bijaksana, jangan engkau kalut bertanya, memangnya Melayu itu mengapa. Pun tak perlu mencari tahu, siapa orang yang telah berseru, introspeksi diri sangatlah perlu, kenapa Melayu jadi pemeo begitu. Tak perlu pula kita meradang, telaahlah kata dengan hati tenang, niscaya terbuka serta terpandang, apa yang salah dan apa yang kurang.

Lihatlah tingkah orang Melayu, mengaku sebagai umat bermutu, satu akidah ber-Tuhan satu, rapat saf hanya saat salatu. Melayu mengenal pitutur kalam, dunia Melayu dunia Islam, Melayu bukan puak sekolam, tapi lautan luas dan dalam. Melayu bukan pada kulitnya, atau bahasa yang dipakainya, penjunjung Alquran siapa pun dia, nyata agamanya Melayulah dia. Kalau dipahami filosofi andalan, Melayu tak bertingkah yang bukan-bukan, kitab Alquran jadi pedoman, perlu diamal bukan disimpan. Melayu hanya sebuah istilah, untuk mudah bergaul-musyawarah, berkelindan dalam senang dan susah, kuah dan daging sama dilapah.

Piturur lain ada berpadah, adat bersendikan syarak – syarak bersendikan Kitabullah, terlarang sangat umat berpilah, berbantah-bantah berpecah-belah. Saksikan apa yang terjadi kini, sesama ikhwan tidak peduli, sikut-menyikut duduk dan berdiri, lebih mementingkan diri sendiri. Melayu tak pandai lagi bermusyawarah, di masyarakat saja berpilah-pilah, musyawarah jadi ajang debat dan marah, payah bersatu tak ada yang mau mengalah. Mengalah kepada ikhwan seakidah, bukanlah berarti kalah dan punah, melainkan upaya menjunjung marwah, untuk menggapai rida Allah.

Wahai Ketuk manusia bermutu, jangan lagi kita banyak berlagu, tak mau bersatu menghadapi sesuatu, malar bertengkar nak bertinju. Orang pintar berlajar dari pengalaman yang lalu, binatang keledai juga begitu, tak ingin terjerembab ke lubang yang satu, cukuplah sekali bengkak dan biru. Bersatu teguh bercerai runtuh, itu pedoman Melayu yang utuh, tak masanya lagi kalut dan hibuh, contohlah air di pembuluh.

Wahai Ketuk tokoh benua, jangan lagi bersilang-sengketa, rakyat sudah cukup menderita, jangan lagi diadu-domba. Hidung Ketuk kembang dan kempis, mendengar cakap kawan berlapis, hatinya rasa bagai diiris, hidup Melayu sangatlah miris. Melayu melangkah tak tentu rudu, entah kemana arah dituju, payah nian searah setuju, tiada tokoh yang jadi pandu. Yang mengaku tokoh ada selonggok, macam keramak di dalam tanggok, namun kerjanya sangat tak seronok, rakyat dibual serta ditohok. Masyarakat hanya diperalat belaka, untuk kepentingan diri semata, setelah nyaman lupalah dia, hidup untuk mencari kaya saja.

Adakah Melayu lupa dengan kemelayuannya, begitu pula dengan adat budayanya, hidup di dunia bak ular melata, lupa Tuhan hilang leda? Kalau begini padahannya, Melayu payah maju ke arena, berpecah-belah sepanjang masa, orang jadi tauke Melayu jadi unta. Unta gerek itu namanya, macam korban Idul Adha, bertikai bersaing dengan sesama, Melayu tak akan pernah jadi apa-apa.

Mat Belatong bersyair macam orang gila, Ketuk mendengar mata berkaca, cakap halus kasar pun ada, entah diduli entah dicela. Mat Belatong dan Ketuk memang kurang akal, tak pandai politik apalagi ngakal, namun insya Allah bukanlah dajjal, mengharu-biru dunia tak tentu pasal. Hati-hati pula memilih pendamping, juga memilih kawan pengiring, salah pilih kepala menaning, kredibilitas diri jadi séngét senggiring. Di akhir syair inilah madah, jangan meradang janganlah marah, jangan tersinggung tak ada faedah, lebih baik merenung jalan yang genah. Kalau Melayu terus bertingkah, bertikai terus padahal seakidah, tercatat lagi dalam sejarah, orang dapat isi Melayu dapat kuah…hah…hah. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jika tulisan ini bermanfaat tolong dikomentari yach.....