-->

SMS Gratis

Rabu, 21 Desember 2011

Bunda di Ufuk Timur

By : Kana Effendi KPK






“…… jangan pernah meratapi sesuatu yang memang telah jadi scenario-Nya. Jalani dan tapaki itu dengan hatimu yang tenang. Masih banyak jalan yang siap menantimu dan siap untuk kamu arungi. Jangan menyerah dengan hidup. Bersemangatlah menjalani hidup ini. Percayalah, ada sesuatu yang menunggumu diujung sana dan akan membawamu pada kebahagiaan. Berikan yang terbaik dalam hidup yang singkat ini……
Malam itu, dingin dan kaku. Malam itu mencekam. Malam itu semuanya terjadi begitu cepat. Kegaduhan yang sunyi nan memilukan. Hanya tangis yang bicara. Keputusasaan berjalan cepat. Semangat luntur. Kaki-kaki tak tenang. Berjalan mondar-mandir. Malam yang nggak akan bisa aku lupakan……

^^^
Pagi yang cerah kembali datang. Mentari dengan malu-malu membayang dicelah awan-awan putih. Langit bersih tanpa mendung. Burung-burung kecil dibelakang rumah bercicit rendah, bersenda gurau dalam balutan hangatnya sinar mentari. Ranting-ranting dengan kokoh menopang tubuh kecil mereka. Bunga-bunga bermekaran dengan indahnya, mengajak kupu-kupu untuk mulai menghisap madu manisnya. Ayam-ayam mematuk rumput di halaman. Entah apa yang membuat mereka terlihat asyik. Benar-benar pemandangan yang menghibur. Dan adalah kehidupan pagi dengan wajah cerianya. Ya… aku selalu terpesona dengan indahnya pagi.

Yak… cukup dengan lamunanku. Kewajibanku harus segera dilaksanakan.
“Pagi ayah, pagi Noli!”. Sapaku pada Ayah dan Noriko, adik semata wayangku. Kenapa dipanggil Noli? Karena Noriko belum fasih mengucapkan huruf “R” dan sepertinya lebih unik dipanggil Noli… hehe.

“Pagi Kak Lunna!” jawab Noli dengan roti ditangannya. Ayah hanya menganggukkan kepala, rongga mulutnya masih dipenuhi oleh makanan.

Aku mengambil kursi disamping Noli dan segera menikmati makanan. Sarapan pagi ini adalah “Nasi goreng telur mata sapi ala chef Lunna”. Dengan keterbatasan naluri koki yang kumiliki, aku ingin memberikan cita rasa yang terbaik untuk makanan yang aku masak. Khusus untuk Noli, setiap pagi dia sarapan roti dan susu kesukaannya, tapi ini semenjak aku yang mengambil alih pekerjaan dapur.

“Sudah selesai sarapannya?”. Tanya Ayah kemudian. Aku dan Noli mengangguk bersamaan. “OK. Kita berangkat sekarang!!”. ujar Ayah semangat beriring senyum. Ya… hampir disetiap pagi Ayah selalu menyemangati kami.

Aku bergegas ke kamar untuk mengambil tas punggung kesayanganku yang dengan setia menemani kemanapun aku pergi. Ketika semua sudah siap, aku keluar kamar dan nggak sengaja mataku menangkap potret gambar dalam pigura di ruang keluarga.
“Lunna! Lunna!” Ayah memegang bahuku.

“Ah… eh, iya Yah!”, bulir hangat menyembul dipelupuk mataku.
“Ayo kita berangkat. Nanti kamu bisa terlambat ke sekolah.”
“Iya, Yah.” jawabku pelan. Andainya saja……

^^^
“Noli ingat pesan Bunda?” tanyaku.
Noli mengangguk. “Noli nggak boleh nakal dan halus lajin belajal.” Aku tersenyum mendengarnya. Jawaban polos dan menyentuh.

“Nah… Noli salam dulu sama Ayah,”
Noli meraih punggung tangan Ayah dan menciumnya. Ayah membelai rambut Noli dan mencium keningnya. Akupun melakukan hal yang sama pada Noli.
“Noli semangat ya… jangan lupa apa?” Tanya Ayah pada Noli.
“Beldo’a sebelum belajal. Hmmm… Noli ingat telus kok Yah, hehe…” Noli tertawa rendah dan sesaat memelukku. “Ayah, kak Lunna… Noli belajal dulu ya. Assalammu’alaikum,” ujarnya kemudian melambai dan tersenyum.
“Wa’alaikumsalam,” jawabku bersamaan dengan Ayah.

“Kamu juga jangan larut dalam sedih. Tersenyumlah seperti Noli,”
Aku tersenyum hambar. Ya… Ayah benar, aku nggak boleh sedih.
Noli berlari-lari kecil. Terlihat ceria. Setelah bayangan Noli nggak terlihat lagi dan telah asyik bergabung dengan teman-temannya dalam canda “Taman Kanak-kanak”, Ayah mengantarkanku ke sekolah.
^^^
Ada bayangan disana. Berjilbab putih bersih ditimpa sinar terang dalam lorong gelap tempatku sekarang berjalan. Aku nggak tahu dimana. Tapi aku bisa merasakan rasa dingin dan hangat secara bersamaan. Aneh.

Aku menyipitkan mataku. Memastikan apa yang aku lihat itu adalah benar bayangan sesosok manusia. Aku semakin mendekat kearahnya yang membelakangiku. Dan entah kenapa nggak ada rasa takut dalam diriku, padahal aku ini takut dalam gelap. Aku pandangi terus sosok itu. Aku seperti mengenalnya. Dan aku merasa dekat. Dekat sekali. Aku terkesima, ketika sosok itu berbalik menghadapku. Wajahnya…
Dia…

Ada kerinduan dalam senyumnya. Seperti aku. Aku…
Aku sangat ingin memeluknya. Aku berlari untuk menggapai sosok itu. namun yang terjadi, jarak kami semakin jauh. Walau aku berlari, aku nggak bisa mendekatinya. Jauh… menjauh.
“Tunggu!!!”
“Tungguuuuu!!!”
Semakin jauh. Dan hilang…
Aku jatuh terduduk. Kenapa? Kenapa pergi?
Tolong, jangan pergi…

^^^
KLENTANG…
Terdengar bunyi sendok terjatuh. Mengejutkanku dari khayal mimpiku tadi malam. “Noli, kenapa sendoknya dibuang?” tanyaku halus dan memungut sendok yang dibuang oleh Noli.

“Noli nggak mau makan. Noli males mau makan.” Wajah Noli mengambek dan memeluk boneka panda kesayangannya. Ya… itu kebiasaannya kalau udah ngambek.
Aku mengambil sendok baru. “Noli jangan gitu dong. Noli harus makan. Biar tetap sehat. Makan, ya.” Bujukku semanis mungkin.

“Pokoknya Noli nggak mau makan.”
“Hmmm… atau Noli mau makan yang lain. Noli mau apa? Nanti Kak Lunna buatin.”
“Nggak! Noli nggak mau makan. Noli mau makan sama Bunda.”
“Noli… Noli anak pintar kan?! Makan ya, sayang…”
“NGGAK MAU!!!!” tangan kanan Noli meraih gelas plastik yang ada didepannya, kemudian menghamburkannya ke lantai.

Habis sudah kesabaranku. “NOLI!!! KAMU PIKIR KAK LUNNA NGGAK CAPEK NGURUSIN KAMU? CUMA DISURUH MAKAN AJA SUSAH. MAU KAMU APA SIH NOLI?!!” aku lepas kendali. Bisa kulihat dengan jelas wajah Noli yang ketakutan. Air matanya berlinang. Dan…
“KAK LUNNA JAHAT!!!!” Noli berlari ke kamar dengan isak tangis. Aku tertegun dengan ucapan Noli. Aku jahat?

Jujur, aku sama sekali nggak bermaksud membuat adik kecilku menangis dan meneriakinya seperti tadi. Aku benar-benar lepas kendali. Aku berlari mengejarnya. Tapi terlambat. Pintu kamar Ayah telah dikunci oleh Noli. Aku berulang kali mengetuk pintu kamar Ayah.

“Noli… maafin Kakak. Kak Lunna nggak bermaksud marahin Noli. Maafin Kak Lunna, Noli. Buka pintunya ya…” nggak ada jawaban. Hanya pecahan isak tangis Noli. Aku ingin sekali memeluknya. Ini salahku. Seharusnya nggak bersikap kasar seperti tadi.
“Noli, buka pintunya. Kakak mohon!!” tetap nggak ada jawaban.

Setengah jam aku duduk menunggu didepan pintu kamar Ayah. Noli masih tetap nggak bergeming. Ucapan… eh bukan, teriakanku tadi benar-benar telah menyakiti hati adik semata wayangku. Seharusnya kesedihan nggak membuatku menjadi kasar, sampai-sampai harus meneriaki adikku sendiri. Ternyata, aku belum dewasa dalam menghadapi masalah.

^^^
Aku memutuskan untuk menenangkan diri. Taman belakang menjadi pilihanku. Spontan mataku menatap jejeran bunga disudut pagar. Bunga-bunga mawar yang selalu terawat oleh penanamnya. Namun kali ini ada yang lain dari bunga mawar itu. Apa karena bukan penanamnya sendirilah yang merawatnya saat ini?

Walaupun begitu, bunga-bunga mawar itu mampu membuatku tersenyum. Satu hal yang masih kusuka, walaupun terlihat lain, bunga mawar itu masih mampu bermekaran dengan indah dan berseri. Seperti itukah hatimu saat ini Bunda?

Setelah merasa tenang, aku kembali masuk kedalam rumah. Aku mengamati seisi ruangan. Seperti tempat asing saja. Aku menyapukan tanganku pada vas bunga didekatku. Debu yang tebal dan abu kehitam-hitaman menempel dijari telunjukku. Aku tersenyum geli. Betapa selama satu bulan ini, aku membiarkan si debu berkeliaran bebas di rumah.

Sedetik kemudian aku teringat Noli. Aku mendatangi kamar Ayah. Aku pegang gagang pintu dan memutarnya. Masih terkunci.

Nggak terdengar lagi suara isak tangisnya. “Noli… Noli!!!” aku mencoba memanggil. Masih nggak ada jawaban. Apa Noli tertidur?
Dengan gontai aku melangkah ke kamarku. Aku benar-benar menyesal. Maafiin Kakak, Noli…

^^^
“Kak Lunna!” Samar-samar aku seperti mendengar suara Noli. “Kak Lunna!” kini giliran badanku digoyang-goyang oleh tangan mungilnya. Seperti mimpi. “Kak Lunna, bangun!!” Pintanya. “Noli mau minta maaf sama Kak Lunna.”
“Noli!!” Aku terkesiap dari tidur siangku dan spontan duduk.

“Kak Lunna, maafin Noli ya…”
“Sini, duduk dipangku Kakak.” Noli naik ke atas tempat tidur dan duduk dipangkuanku. “Iya deh, Kakak maafin Noli. Kak Lunna juga minta maaf ya, karena tadi udah marah-marah sama Noli.” Aku mencium pipinya yang gemuk.
“Noli… maafin Kak Lunna, OK.” Ia tertawa.
Aku memeluk erat Noli. Seperti nggak ingin lepas darinya. Ya... 13 tahun penantianku, akhirnya aku mendapatkan adik yang aammmaaaatt lucu. Seharusnya aku menjaganya dengan baik.
“Kak Lunna, Noli lindu sama bunda,”
“Hmmm?”
“Noli pengen lihat bunda,”
“Emmm… Noli sabar ya, besok kan kita pergi lihat Bunda. Ok!”
“Oki doki!” Noli menjawabnya dengan senang.
Aku mencoba ceria. Aku nggak ingin ngelihat Noli sedih lagi. Padahal, jauh didalam hatiku, aku lebih rapuh dari Noli.
Kruyuk… kruyuk…
“Kak… Noli lapal,” sontak aku tertawa.
Noli… Noli…

^^^
Waktu berjalan lambat tapi pasti. Malam berganti siang, siang kembali malam. Tiba-tiba hatiku mengharu. Detak jantung nggak menentu. Kerinduan berada pada batas puncaknya.

Noli yang berjalan, menggamit lima jariku, asyik bernyanyi, ceria tersenyum. Andai aku bisa seperti Noli. Aku menarik nafas panjang, melegakan pernapasan yang mencekat, melegakan suasana hati yang nggak karuan.

B 407. Kamar berukuran sedang, bercat putih bersih. Disanalah seseorang terbaring. Aku masuk perlahan seolah nggak ingin mengejutkan seseorang yang terbaring didalamnya. Semua sama. Sama seperti satu bulan, dan satu minggu lalu saat aku kesini. Yang terdengar adalah mesin detak jantung. Yang berjalan adalah cairan dalam selang infus itu.

“Nenek dan Bibi dimana, Yah?” tanyaku pada Ayah.
“Tadi Nenek dan Bibimu, Ayah suruh makan dulu.” Aku mengangguk. “Oh ya, Lunna. Kamu jaga Bunda ya… Ayah mau shalat Dhuhur dulu.”
“Iya, Yah.”
“Noli nggak boleh ribut. Jaga bunda baik-baik, ya…” pesan Ayah.
“He-em,”

Sepeninggal Ayah, aku mengambil kursi tak jauh tempatku berdiri dan meletakkannya tepat disamping kanan ranjang Bunda. Noli aku dudukan ditepian ranjang. Aku duduk, menghadap tubuh Bunda yang semakin menyusut. Wajahnya terlihat semakin tirus. Garis hitam dibawah matanya semakin melebar. Namun bagiku, itu sama sekali nggak mengurangi kecantikan Bunda sedikitpun.

“Bunda, hali ini Kak Lunna ulang tahun, loh…” Ujar Noli membuatku kaget. “Bunda nggak mau ngucapin selamat ulang tahun sama Kak Lunna? Noli kaangeeen… sama Bunda.” Kemudian Noli mengecup kening Bunda.

Ya… hari ini aku ulang tahun. Dan hari ini terjadi dua momen hari sekaligus, hari bahagia dan sedihku. Tadi sehabis shalat subuh, Ayah dan Noli berdiri didepan pintu kamarku untuk mengucapkan “selamat ulang tahun”. Kejutan sederhana penuh arti. Ayah menghadiahkanku kerudung putih yang saat ini kupakai. Sedangkan Noli memberiku bros lucu yang sekarang aku pakai juga. Namun, hadiah terbesarku yang sebenarnya adalah Ayah dan Bunda yang penyayang serta adik kecilku yang lucu. Mereka nggak akan tergantikan oleh hadiah mahal apapun.

“Bunda, ayo bangun!” bisik Noli pelan ditelinga Bunda.
Seketika ruangan itu sepi dari suara. Hanya terdengar suara detik jam dinding disudut kiri atas. Baik aku dan Noli, sama-sama diam terpaku…
Tik… tik… tik… tik… tik… tik… tik… tik… tik… tik…
Benarkah yang kulihat? Bunda membuka matanya. Oh, Ya Allah Bunda membuka matanya. Aku ternganga, terpana.

“Bunda!!” panggilku dan Noli bersamaan. Perlahan mata Bunda terkatup lagi. “Bunda!!”
Noli tersenyum senang. Aku juga nggak boleh nangis. Aku harus tegar. Mata Bunda yang terbuka untuk waktu 10 detik, aku artikan sebagai bahasanya mengucapkan selamat hari memabahagiakan untukku. Ulang tahun putrinya yang ke 6570 hari. Terimakasih Bunda…
^^^
Minggu pagi yang cerah. Aku masih teringat dengan peristiwa kemarin. Ayah yang aku ceritakan tentang peristiwa itu, berkali-kali mengucap syukur. Begitu mengesankan. Baru hari itu Bunda membukakan matanya, walau hanya sebentar.
Aku yang mengingat hal itu, nggak bisa tertidur lama. Disudut sana, Ayah dan Noli pulas tertidur diatas sofa. Mereka kelelahan. Aku menulisan sebait puisi untuk Bunda.

Syair Indah Untuk Bunda
Pernahkah kau melihat senyum termanis?
Itu adalah senyuman Bunda,
Pernahkah kau mendengar teriakan merdu?
Itu adalah Bunda ketika marah,
Bunda… kan kunanti saat-saat itu lagi…

Bunda, kaulah ufuk timur kami. Engkau selalu berdiri di ufuk timur untuk membangunkan dan mengingatkan kami. Cahaya yang dahulu muncul, bagiku adalah cahaya seorang Bunda. Sinar ufuk timur membawa harapan dan kehidupan baru, seperti itulah Bunda. Kau memberikan kehidupan baru dalam harapan kami. Kaulah sinar ufuk yang sesungguhnya.

Aku melihat wajah Bunda yang tirus itu. terlihat senyum berserinya walau samar. Ya Allah, tolong bangunkan Bunda dari tidur panjangnya dengan sinar cahaya-Mu. Ketika Bunda terbangun nanti, tak ada kata terucap selain kebahagiaan.
Bunda… Lunna tahu, Bunda selalu menyayangi kami. Lunna tahu, penyakit yang tengah menderamu, nggak menghalangi semangat Bunda untuk berjuang dan melawan penyakit itu. Lunna tahu, dalam diam pun hati Bunda nggak putus-putusnya melantunkan do’a, mengharapkan yang terbaik untuk kami. Begitupun juga kami. Bunda, berjuanglah. Kami menantimu. Cepatlah sembuh.
Bunda… we love you… (Ayah, Lunna, Noli).

T A M A T

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jika tulisan ini bermanfaat tolong dikomentari yach.....